Stoikisme atau stoa adalah istilah yang mungkin kita pernah dengar namun tidak begitu kita pahami. Stoikisme adalah ajaran yang berkaitan dengan kebahagiaan. Kebahagiaan berhubungan dengan apa yang bisa kita kontrol.
Apa saja yang bisa kita kontrol? Apakah kita harus mengontrol semua hal sekalipun di luar kendali kita? Sehingga kita bisa merasakan bahagia karena semua hal telah sesuai dengan keinginan kita?
Mari kita pahami lebih dalam filosofi stoikisme menggunakan teori para filsafat!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian Stoikisme
Dikutip dari jurnal penelitian oleh Ria dkk, stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengajarkan seseorang untuk hidup bebas dari hasrat tidak terpengaruh oleh kebahagiaan atau kesedihan yang datang dari orang lain, serta tidak mengeluh tentang hal-hal yang tidak bisa dihindari.
Pemikiran ini diciptakan Zeno di Athena pada 294 sebelum Masehi. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius.
Dilansir dari buku Di Mana Letak Kebahagiaan? oleh Edison dan Kristoforus, stoikisme membagi pemikiran filosofis menjadi tiga bagian besar, yaitu fisika, logika, dan etika. Sedangkan menurut Platonisme dan Aristotelisme, filosofi stoikisme dibagi menjadi empat, dengan metafisika sebagai tambahannya.
Bagian fisika dalam stoikisme adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan dan dirasakan. Logika berfungsi mencari kriteria dan hidup dalam kaitannya dengan kebenaran. Etika stoikisme memungkinkan pengenalan tujuan akhir hidup. Sedangkan metafisika adalah adalah konsep yang tidak nyata.
Perbedaan pandangan ini mengilustrasikan variasi dalam pengelompokan dan penekan aspek-aspek tertentu dari filsafat stoikisme oleh berbagai aliran pemikiran filosofis.
Teori Stoikisme Menurut Para Filsuf dan Maknanya
Dikutip dari jurnal penelitian oleh Delinda dkk, filsafat stoikisme melibatkan sejumlah teori filsafat dalam ontologi, epistemologi, dan etika.
Teori stoikisme menurut Salzegber adalah pengajaran mengenai kebajikan dan berfokus kepada apa yang dapat dikontrol sendiri semi membawa manusia mendapatkan kebahagiaan.
Paham stoikisme bermakna bahwa manusia sangat sempurna, bermanfaat, dan terhormat bagi diri sendiri maupun orang lain. Ajaran ini memiliki tujuan utama yaitu menjalani hidup dengan mengasah kebajikan, yaitu kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan kontrol diri. Ajaran stoikisme juga membimbing manusia memiliki sesuatu yang dapat dikontrol dan sesuatu yang tidak dapat dikontrol.
Henry Manampiring menyampaikan definisi kebahagiaan menurut filsafat stoikisme adalah memiliki sikap logis negatif, yang bermakna bahwa jiwa manusia yang damai dan tenang oleh tiadanya penderitaan, emosi, dan saat manusia tidak diganggu dan bisa mengontrol nafsu-nafsu negatif, seperti kemarahan, kecewa, dan iri hati.
Kebahagiaan pada Paham Stoikisme
Kebahagiaan dalam filsafat stoikisme bermakna kebahagiaan sejati yang dapat muncul dari hati dengan fokus pada hal-hal yang dapat dikontrol dan bersifat rasional.
Stobeo mengatakan bahwa kebahagiaan adalah hidup sesuai kebajikan yang tidak lain adalah hidup sesuai kodrat. Begitu pula yang disampaikan Michael de Efeso bahwa hidup menurut kodrat adalah hidup yang identik dengan kebahagiaan.
Stoikisme juga mencari arti dan keindahan. Tak hanya itu, melainkan juga menunjukkan identitas kebahagiaan yang dimaksud.
Implementasi Stoikisme di Era Digital
Paham stoikisme mengajarkan bahwa manusia memiliki potensi yang sangat besar, memiliki nilai yang signifikan dan pantas dihormati oleh diri sendiri dan orang lain. Paham ini berasal dari pandangan bahwa manusia dianugerahi akal budi yang rasional dan kemampuan pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan dunia sosial dan alam semesta. Cara menerapkan stoikisme di era digital adalah sebagai berikut:
- Mengendalikan diri saat menggunakan teknologi
- Fokus pada hal yang dapat dikendalikan saja
- Menekankan pentingnya kebahagiaan internal yang berasal dari sikap dan pikiran sendiri
- Menghadapi tantangan dan rintangan dengan ketenangan dan kebijaksanaan
- Peningkatan hubungan dan kolaborasi.
(nah/nah)