Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asnawi menyebut posisi Indonesia terletak wilayah equatorial anomaly. Letak tersebut bisa memicu terjadinya plasma bubble.
Plasma bubble adalah gelembung penipisan di lapisan ionosfer. Lapisan ini dikenal sebagai lapisan pelindung Bumi yang molekulnya mengalami ionisasi.
"Ionosfer merupakan bagian dari atmosfer atas dengan ketinggian 60 km-1.000 km di atas permukaan bumi. Kami menyebut riset ionosfer dan propagasi gelombang radio karena terdapat kerapatan ion dan elektron," kata Asnawi, dikutip dari laman BRIN, Sabtu (4/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena plasma bubble dapat menyebabkan gangguan di beberapa sektor. Misalnya menimbulkan gangguan propagasi gelombang radio dan gangguan sinyal satelit.
"Terutama di ketinggian 300-400 km yang efektif dapat memantulkan gelombang radio. Selain itu juga mempengaruhi sinyal dari satelit Global Navigation Satellite System (GNSS), sehingga dapat mempengaruhi akurasi pengukuran posisi," ujar Asnawi.
Dinamika Ionosfer Dipengaruhi Matahari
Asnawi menjelaskan dinamika ionosfer secara umum dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Semakin tinggi aktivitas Matahari, maka jumlah elektron juga akan tinggi.
Ionosfer sendiri terbentuk dari radiasi ultraviolet (UV) dari Matahari. Lapisan ini terdiri atas beberapa molekul seperti D, E, F1, dan F2.
Lapisan ionosfer tingginya tergantung pada lokasi dan waktu. Tebalnya juga relatif sesuai dengan aktivitas Matahari dan letak geografis.
"Ketika fenomena di Matahari yang kelasnya besar, maka akan membawa partikel besar oleh angin Matahari. Kemudian masuk ke lapisan ionosfer dengan muatan elektron yang ada akan meningkat. Lapisan itu akan menyerap gelombang radio elektromagnetik," terang pria lulusan Magister Universitas Kebangsaan Malaysia tersebut.
Upaya Mitigasi Gangguan Ionosfer
Asnawi menuturkan langkah mitigasi dari plasma bubble atau gangguan ionosfer ini adalah dengan memantau secara berkala lapisan ionosfer. Dalam pengamatannya, diperlukan alat-alat khusus.
"Antisipasi dan mitigasi gangguan ionosfer bisa dilakukan melalui pengamatan ionosfer menggunakan Ionosonda sebagai alat yang akan memancarkan radar ionosferik. Ionosonda berada di field station yang ada di BRIN. Ada juga peralatan penerima satelit GNSS khusus untuk monitoring TEC dan sintilasi," terangnya.
Untuk mengukur gangguan ionosfer, Asnawi menyebut perlu adanya jaringan dan data dari geospasial. Perhitungan bisa menggunakan parameter TEC.
"Riset ionosfer dan propagasi gelombang radio cukup penting dilakukan. Bagaimana kita membuat model untuk mitigasi dan kolaborasi sangat penting, Diharapkan banyak kolaborasi riset sehingga menghasilkan topik riset yang baru," terang Asnawi.
"Pusat Riset Antariksa memiliki layanan informasi SWIFtS (Space Weather and Information Forecast Services) yang memiliki informasi aktivitas Matahari, Ionosfer, dan Geomagnet. Kita bisa melihat informasi itu di sana, dan datanya sudah diolah dan disimpulkan kuat, sedang, serta lemah. Kita bisa mengaksesnya melalui https://swifts.brin.go.id, namun masih dalam tahap pengembangan," tambahnya.
(cyu/cyu)