Mirip dengan Bumi, Apakah Trappist-1e Memiliki Kehidupan?

ADVERTISEMENT

Mirip dengan Bumi, Apakah Trappist-1e Memiliki Kehidupan?

Luthfi Zian Nasifah - detikEdu
Sabtu, 04 Mei 2024 09:00 WIB
UNSPECIFIED:  In this NASA digital illustration handout released on February 22, 2017, an artists concept shows what the TRAPPIST-1 planetary system may look like, based on available data about the planets diameters, masses and distances from the host star. The system has been revealed through observations from NASAs Spitzer Space Telescope as well as other ground-based observatories, and the ground-based TRAPPIST telescope for which it was named after. The seven planets of TRAPPIST-1 are all Earth-sized and terrestrial, according to research published in 2017 in the journal Nature. TRAPPIST-1 is an ultra-cool dwarf star in the constellation Aquarius, and its planets orbit very close to it. They are likely all tidally locked, meaning the same face of the planet is always pointed at the star, as the same side of our moon is always pointed at Earth. This creates a perpetual night side and perpetual day side on each planet. TRAPPIST-1b and c receive the most light from the star and would be the warmest. TRAPPIST-1e, f and g all orbit in the habitable zone, the area where liquid water is most likely to be detected. But any of the planets could potentially harbor liquid water, depending on their compositions. In the imagined planets shown here, TRAPPIST-1b is shown as a larger analogue to Jupiters moon Io. TRAPPIST-1d is depicted with a narrow band of water near the terminator, the divide between a hot, dry day and an ice-covered night side. TRAPPIST-1e and TRAPPIST-1f are both shown covered in water, but with progressively larger ice caps on the night side. TRAPPIST-1g is portrayed with an atmosphere like Neptunes, although it is still a rocky world. TRAPPIST-1h, the farthest from the star, would be the coldest. It is portrayed here as an icy world, similar to Jupiters moon Europa, but the least is known about it. (Photo digital Illustration by NASA/NASA via Getty Images)
Foto: Pool/NASA/Getty Images/Ilustrasi exoplanet
Jakarta -

Trappist-1e adalah planet ekstrasurya terestrial mirip Bumi yang ditemukan pada tahun 2017. Saat itu, Trappist-1e hanya mengorbit 0,028 AU dari bintangnya (1 AU adalah jarak rata-rata dari Matahari ke Bumi).

Trappist-1e dikatakan mirip dengan Bumi karena termasuk planet berbatu. Rata-rata kepadatan sekitar hanya 2% lebih besar dari Bumi, serta memiliki gravitasi permukaan sebesar 82%.

Pencarian Kehidupan di TRAPPIST-1e

Selama ini, para ilmuwan menggunakan teleskop luar angkasa Kepler dan Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS) untuk menemukan ribuan exoplanet yang sebagian besar terdeteksi dan dikonfirmasi menggunakan metode tak langsung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para ilmuwan mengandalkan spektrum emisi dari atmosfer planet ekstrasurya untuk mencari tanda-tanda kimia yang dikaitkan dengan kehidupan.

Pada dasarnya, astrobiologi menggunakan kehidupan di Bumi sebagai acuan saat mencari indikasi kehidupan di luar Bumi. Seperti ketika para pemburu ekstrasurya menggunakan Bumi sebagai standar pengukuran 'kelayakan layak huni'.

ADVERTISEMENT

Namun, kehidupan di Bumi dan lingkungan alaminya telah berkembang pesat seiring waktu. Oleh karena itu, tim internasional menggunakan kondisi Bumi miliaran tahun lalu untuk mencari kehidupan di Trappist-1e.

Penelitian terhadap Tanda-tanda Biologis di Trappist-1e

Tim internasional yang melakukan penelitian terdiri atas astronom dan astrobiologi dari Global System Institute, Departemen Fisika dan Astronomi, Matematika dan Statistik, serta Ilmu Pengetahuan Alam di University of Exeter.

Para anggota tim bergabung dengan para peneliti asal School of Earth and Ocean Sciences di University of Victoria dan the Natural History Museum di London.

Hasil studi penelitian menjelaskan tanda-tanda biologis dari kehidupan fotosintesis pra-oksigen di Trappist-1e, diterbitkan di Monthly Notices of the Royal Astronomical Society (MNRAS).

Sistem Trappist-1e telah menjadi pusat perhatian sejak para astronom mengkonfirmasi keberadaan 7 exoplanet pada 2017.

Namun, sebagai salah satu dari sistem dengan bintang induk katai merah yang bermassa rendah dan lebih dingin, pertanyaan mengenai layak tidaknya planet di dalamnya masih belum terjawab.

Untuk memastikan adanya kehidupan, planet-planet tersebut harus memiliki sejumlah karakteristik penting seperti atmosfer yang tebal, medan magnet yang kuat, dan mekanisme perpindahan panas yang efisien.

Dalam penelitiannya, tim membuat model yang mempertimbangkan kondisi biologis mirip Archean dan bagaimana keberadaan bentuk kehidupan awal dapat memanfaatkan beberapa unsur sambil menghasilkan unsur lainnya.

"Tanda yang diperkirakan seperti adanya metana, karbon dioksida, dan uap air, serta tidak adanya karbon monoksida. Uap air menunjukkan adanya air, sedangkan atmosfer yang menunjukkan karbon monoksida berarti atmosfer tidak seimbang," jelas penulis studi, Eager-Nash, dikutip dari Universe Today.

"Dua hal tersebut tidak boleh ada bersamaan di atmosfer karena dapat mengubah semuanya menjadi air, kecuali ada sesuatu yang mempertahankan ketidakseimbangan ini untuk hidup," tambahnya.

Para ilmuwan juga mempertimbangkan bagaimana zona layak huni sirkumsolar (CHZ) dapat diperluas hingga mencakup kondisi yang mirip dengan Bumi dari periode geologi sebelumnya.

Para ahli astrobiologi pun telah berupaya memperluas jaringan pada jenis tanda biologis yang lebih kuno seperti organisme fotosintetik retina. Dalam studi terbaru, terdapat penetapan serangkaian tanda biologis yang mengarah pada penemuan kehidupan di planet era Archean.

Instrumen yang Membantu Menemukan Kehidupan di Planet

Harapannya, teleskop seperti JWST dan Extremely Large Telescope (ELT) dapat membantu menentukan apakah ekstrasurya memenuhi syarat-syarat tersebut untuk mendukung kehidupan.

Dengan instrumen-instrumen tersebut, di masa depan dapat dikenali tanda-tanda biologis yang dicari. Penelusuran planet-planet layak huni dapat mengisolasi tanda-tanda biologis yang sesuai dengan kehidupan primitif dan kondisi umum yang terjadi di Bumi miliaran tahun lalu.

Hal ini sesuai dengan Great Filter Hypothesis, bahwa terdapat kehidupan umumnya yang terjadi di Alam Semesta, tetapi bukan kehidupan yang maju.




(faz/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads