Video pertunangan anak di Madura viral di media sosial. Kedua orang tua anak membenarkan adanya pertunangan tersebut, seperti dikonfirmasi detikJatim beberapa waktu lalu.
Psikolog keluarga dan anak Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Nurul Hartini SPsi MKes Psikolog menjelaskan tradisi pertunangan jalur jodoh itu dikenal dengan nama tradisi abekalan. Nurul mengatakan, langkah sebagian warga Madura meninggalkan tradisi pertunangan anak usia dini tersebut kabar baik bagi peningkatan pendidikan dan kesejahteraan anak.
Psikolog Unair ini menjelaskan usia di bawah enam tahun adalah usia emas (golden age) bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan dan minat. Eksplorasi penting untuk membangun kemandirian dan minat sesuai bakat hingga tumbuh remaja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan orang tua perlu paham tugasnya mendorong perkembangan anak.
"Orang tua perlu memahami bahwa setiap usia perkembangan anak memiliki tugas yang berbeda. Anak di bawah usia enam tahun seharusnya lebih banyak mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan perkembangan sensorik, motorik, dan kesiapan belajar," kata Nurul, dikutip dari laman resmi Unair, Minggu (28/4/2024).
Namun, ia mendapati belum ada kepastian apakah tradisi ini menghambat anak-anak untuk berhubungan sosial di sekolah. Di sekolah, anak seharusnya berkolaborasi dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.
Pertimbangan Psikologis Anak
Nurul mengatakan tradisi pertunangan dini dapat memengaruhi kesehatan mental anak. Namun, belum dapat dipastikan seberapa jauh dampaknya. Ia menjelaskan anak secara psikologis mulai mempertimbangkan intimate relationship sejak menginjak usia remaja.
"Bahkan dalam undang-undang pernikahan menyebutkan bahwa usia 19 tahun baru boleh menikah. Padahal individu baru memahami edukasi secara psikologis sekitar usia 20 tahun ke atas," ucapnya.
Lingkungan dan Pola Asuh Positif Berpengaruh
Di sisi lain Nurul menilai orang tua dan budaya tidak dapat disalahkan secara langsung dalam melangsungkan tradisi ini. Ia menegaskan, warga dan tokoh masyarakat berperan penting atas edukasi dan pengaruh positif terhadap tradisi ini.
"Ada perjalanan panjang dan pertimbangan-pertimbangan yang akan berubah seiring dengan edukasi yang baik dan literasi yang positif. Selain itu, pendidikan dan literasi yang konstruktif lebih penting daripada sekedar menyalahkan," katanya.
Ia menyarankan ada pendidikan dan pola asuh konstruktif bagi perkembangan anak-anak.
"Stimulasi dan perlakuan yang diberikan oleh lingkungan akan berdampak pada perilaku anak. Apapun treatment pola asuh orang tua diharapkan dapat memberikan support positif untuk perkembangan anak," ucapnya.
(twu/nwk)