Hutan tropis tidak bisa bisa pulih alami tanpa burung pemakan buah. Burung liar (frugivora) dapat meningkatkan potensi serapan karbon dalam regenerasi hutan tropis hingga 38 persen.
Hasil penelitian tersebut dipublikasi para ilmuwan Crowther Lab di EidgenΓΆssische Technische Hochschule(ETH) ZΓΌrich di jurnal Nature Climate Change. Model penelitian menggunakan data berbasis darat yang dikumpulkan di Hutan Atlantik Brasil.
Penelitian mengungkap bahwa aktivitas burung tropis liar bergerak bebas melintasi lanskap hutan yang bantu meningkatkan penyimpanan karbon dari regenerasi hutan tropis hingga 38 persen. Ini menjadikan burung tersebut faktor penting keberhasilan pemulihan hutan tropis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemulihan Hutan Versi Hemat Biaya
Selama ini, pemulihan hutan alam dianggap sebagai cara yang hemat biaya untuk memulihkan keanekaragaman hayati sekaligus menyerap karbon. Pemulihan hutan dapat menyerap lebih dari 2,3 miliar ton karbon di kawasan Hutan Atlantik dan 77 persen lebih hemat ketimbang kegiatan menanam pohon.
Namun, fragmentasi atau pemecahan hutan tropis di sana-sini telah membatasi pergerakan hewan, khususnya burung-burung besar. Akibat fragmentasi hutan, kemampuan burung besar untuk menyebarkan benih dan memulihkan hutan yang sehat jadi terhambat.
Lanskap hutan yang sangat terfragmentasi membatasi pergerakan burung, sehingga mengurangi potensi pemulihan karbon hingga 38 persen. Untuk itu, peneliti menekankan pentingnya regenerasi hutan dengan memerhatikan peran burung-burung pemakan buah.
Di kawasan Hutan Atlantik di Brasil, para peneliti mengatakan jarak antarhutan seharusnya maksimal 133 meter saja untuk memastikan burung dapat terus bergerak di seluruh lanskap dan memfasilitasi pemulihan ekologi. Untuk itu, sangat penting untuk mempertahankan minimal 40 persen tutupan hutan.
Burung Pemakan Buah untuk Pemulihan Hutan
Peneliti menuturkan, sekitar 70-90 persen spesies pohon di hutan tropis bergantung pada penyebaran benih oleh hewan. Burung pemakan buah bantu regenerasi hutan dan ekosistemnya dengan mengonsumsi, mengeluarkan, dan menyebarkan benih saat mereka berpindah-pindah di seantero hutan.
Toco Toucan (Ramphastos toco) mampu menyebarkan benih dari pohon yang berpotensi menyimpan banyak karbon. Begitu pula dengan burung pemakan buah lainya, seperti Red-Legged Honeycreeper, Palm Tanager, atau Rufous-Bellied Thrush.
Palm Tanager (Thraupis palmarum) memakan buah beri dan mengeluarkan biji yang tidak dapat dicerna di tempat lain. Ini membuatnya bantu menyebarkan tumbuhnya pepohonan di hutan.
Beda Burung, Beda Kemampuan Pulihkan Hutan
Rupanya, beda spesies burung, beda pula dampaknya dalam penyebaran benih. Burung yang lebih kecil dapat menyebarkan lebih banyak benih, tetapi benih yang disebarkan yaitu benih kecil kecil dari pohon yang potensi penyimpanan karbonnya lebih rendah.
Sebaliknya, burung yang lebih besar seperti toucan Toco atau burung jay jambul Curl dapat menyebarkan benih pohon yang punya potensi penyimpanan karbon lebih tinggi. Namun, burung yang lebih besar cenderung tidak terbang melintasi lanskap hutan yang sangat terfragmentasi.
"Membiarkan hewan pemakan buah yang berukuran lebih besar untuk bergerak bebas melintasi lanskap hutan sangat penting untuk pemulihan hutan tropis yang sehat," kata Carolina Bello, peneliti pasca-doktoral di Crowther Lab dan penulis utama studi tersebut, dikutip dari laman ETH Zurich.
Tanam Pohon Buah buat Burung
Para peneliti menjelaskan, serangkaian strategi seperti menanam pohon buah-buahan dan mencegah perburuan liar bisa meningkatkan pergerakan hewan di daerah tropis. Ini memungkinkan restorasi pasif oleh burung lebih mungkin terjadi.
Sementara itu, restorasi aktif bisa difokuskan pada lanskap yang sangat terfragmentasi saja dan butuh penanganan mendesak.
"Mengidentifikasi ambang batas tutupan hutan di lanskap sekitar yang memungkinkan penyebaran benih bantu kita mengidentifikasi kawasan tempat regenerasi alami mungkin terjadi, serta kawasan yang perlu kita tanami pohon secara aktif. Ini memungkinkan kita memaksimalkan efektivitas biaya hutan. restorasi," kata Danielle Ramos, salah satu penulis makalah yang berafiliasi dengan Universitas Exeter, Inggris dan Universidade Estadual Paulista, Rio Claro, SΓ£o Paulo, Brasil.
(twu/pal)