Kini muncul 'kidsfluencer', istilah untuk menyebut anak-anak yang menjadi influencer atau pemengaruh pada media sosial. Fenomena ini bermula dari orang tua yang menjadikan anaknya sebuah konten, baik disengaja maupun tidak serta dengan tujuan tertentu maupun tidak.
Lantas, apakah menjadikan anak-anak sebagai konten merupakan bentuk eksploitasi? Pakar psikologi anak Universitas Airlangga (Unair), Dr Nur AIny Fardana memberikan pandangannya atas hal ini.
Menurut Dr Nur Ainy, eksploitasi anak-anak berarti menghilangkan hak-hak yang semestinya mereka miliki. Maka, penting untuk melihat terlebih dahulu bagaimana posisi anak yang bersangkutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Eksploitasi atau tidak, perlu dipertimbangkan apakah anak melakukannya dengan perasaan tertekan dan tidak nyaman, atau sebaliknya? Yakni anak melakukan dengan senang hati," ujarnya, dikutip dari rilis Pusat Komunikasi dan Informasi Publik Unair.
Beberapa orang tua tidak jarang mulanya hanya merekam momen lucu anaknya sebagai kenang-kenangan.
Namun, membuat konten keseharian anak seperti ketika mereka bermain, makan, juga aktivitas lainnya dapat membuat kabur perlindungan atas privasi mereka. Terlebih lagi, anak-anak jadi lebih sering terekspos kamera.
Eksistensi Anak di Dunia Hiburan Tak Jadi Masalah, Tapi...
Dr Nur Ainy menegaskan eksistensi anak-anak di dunia hiburan tak akan jadi masalah apabila hal yang dilakukan bertujuan mengembangkan minat dan bakat mereka serta menumbuhkan kreativitasnya sesuai dunianya.
Meski demikian, dia pun menggarisbawahi kondisi psikologi anak tetap harus jadi perhatian utama.
"Eksploitasi atau tidak, perlu dipertimbangkan apakah anak melakukannya dengan perasaan tertekan dan tidak nyaman, atau sebaliknya? Yakni anak melakukan dengan senang hati," dia menekankan.
Menurutnya, orang tua wajib mengontrol intensitas anak berhadapan dengan kamera. Sebab, seberapa sering anak berhadapan dengan kamera akan berisiko menghambat tumbuh dan kembangnya.
"Apabila intensitas anak berhadapan dengan kamera dilakukan dalam frekuensi yang sangat sering, serta adanya tuntutan untuk berperilaku tertentu sesuai keinginan orang dewasa, hal tersebut beresiko akan menghambat anak untuk optimalisasi ekspresi dan eksplorasi," paparnya.
Dr Nur Ainy, menjelaskan bahwa menjadikan anak sebagai konten secara berlebihan akan mengakibatkan tekanan mental bagi mereka.
Maka menjadi kewajiban orang tua atau orang dewasa untuk tetap memperhatikan hak dan kebutuhan tumbuh kembang mereka secara optimal.
Hak-hak Anak yang Rentan Terabaikan
Dr Nur Ainy menyampaikan, setidaknya ada tiga hak anak yang rentan terabaikan yaitu hak pendidikan, hak bermain, dan hak memperoleh perlindungan.
Dia menegaskan anak-anak harus tetap memperoleh layanan dan kesempatan pendidikan yang baik meskipun terjun ke dalam dunia hiburan. Terlebih anak juga membutuhkan aktivitas bermain dan bersosialisasi dengan sebayanya.
"Selanjutnya, anak-anak yang terlibat dalam kegiatan di dunia hiburan, tetap harus mendapat perlindungan fisik, sosial, dan psikologis," tambahnya.
Sebagai salah satu bentuk perlindungan atas hak-hak anak, maka peran orang tua jadi penting. Selain itu, anak perlu memperoleh kesempatan untuk belajar mengekspresikan perasaan atau pikirannya. Terakhir, perlu ada kontrol sosial dari masyarakat untuk melindungi anak dari eksploitasi.
"Orang tua yang memegang kendali, dan anak-anak harus diajarkan untuk berani mengekspresikan perasaan atau pikiran, jika aktivitas atau tuntutan di luar kapasitasnya. Terakhir, perlu kontrol sosial dari masyarakat agar anak terlindungi dari eksploitasi," pungkas Dr Nur Ainy.
(nah/faz)