Perubahan Iklim Jadi Biang Kerok, Kiamat Bumi Diperkirakan Maju 10 Tahun

ADVERTISEMENT

Perubahan Iklim Jadi Biang Kerok, Kiamat Bumi Diperkirakan Maju 10 Tahun

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 13 Mar 2024 11:30 WIB
North Pole Igloos Hotel
Ilustrasi. Kutub utara bisa kehilangan esnya dalam waktu 10 tahun, begini tanda kiamat karena perubahan iklim. Foto: Luxury Action
Jakarta -

Keadaan Bumi memang tidak sedang baik-baik saja dengan berbagai kerusakan yang terjadi di dalamnya. Pada awal Januari 2024 lalu, Jam Kiamat 2024 menjelaskan Bumi semakin dekat dengan kehancuran dan hanya memiliki waktu 90 detik menuju tengah malam.

Salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran itu adalah perubahan iklim karena tidak kuatnya komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kini, berbagai penelitian bak membuktikan hal itu benar-benar bisa terjadi.

Seperti yang tertuang dalam laporan terbaru para ilmuwan di University of Colorado Boulder (CU) yang menjelaskan pencairan es di Samudra Arktik maju satu dekade atau 10 tahun lebih cepat. Mengerikannya, angka ini tetap konsisten meski telah diterapkan ke berbagai skenario emisi di masa depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prediksi Fenomena Kutub Utara Bebas Es Pertama

Pencairan es yang terjadi di kutub Utara menjadi tanda kiamat bukan ketika Samudra Arktik tidak memiliki es sama sekali di perairan. Melainkan ketika wilayah tersebut memenuhi ambang batas yang telah ditentukan.

Ambang batas ini yakni saat es kurang dari 1 juta km persegi atau kurang dari 20% tutup es minimum sepanjang musim di wilayah tersebut pada tahun 1980-an. Akhir-akhir ini, penurunan jumlah es di Arktik menjadi yang terbesar dalam beberapa dekade.

ADVERTISEMENT

Per September hanya ada 3,3 juta kilometer persegi es di Samudra Arktik. Dengan demikian, angka ini semakin mendekati ambang batas.

Alexandra John, profesor ilmu atmosfer dan kelautan dan peneliti di Institut Penelitian Arktik dan Alpine CU Boulder menjelaskan pihaknya telah menganalisis data ini. Hasilnya diketahui bila Arktik dapat berubah setiap hari di masa depan.

Untuk mencapai angka satu juta kilometer persegi, para ilmuwan memperkirakan akan terjadi empat tahun lebih awal hingga 18 tahun lebih awal. Hasil penelitian ini penting diketahui untuk memprediksi kapan Kutub Utara akan melalui kondisi bebas es pertama dalam sejarah.

"Samudra Arktik akan bebas es untuk pertama kalinya pada akhir Agustus atau awal September antara tahun 2020-an hingga 2030-an berdasarkan semua skenario emisi," jelas Jahn dikutip dari rilis di laman CU Boulder, Rabu (13/3/2024).

Emisi Gas Rumah Kaca Jadi Penyebab Utama

Lebih lanjut, Jhan mengatakan emisi gas rumah kaca merupakan kontributor utama hilangnya es di Samudra Arktik. Zat jahat ini bisa meningkatkan jumlah panas sinar matahari yang diserap lautan sehingga memperburuk pencairan es dan pemanasan di Kutub Utara.

Menurunnya es dapat berdampak untuk seluruh makhluk di wilayah tersebut. Bagi hewan kutub Utara seperti anjing laut dan beruang kutub bisa kehilangan habitatnya.

Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir bisa terancam bencana. Karena es laut berperan dalam menahan dampak gelombang laut di daratan pesisir.

"Ketika es laut menyusut, gelombang laut akan semakin besar sehingga menyebabkan erosi pantai," tambah Jahn.

Fenomena Arktik bebas es menurut Jahn tidak bisa dihindari, tetapi penggunaan emisi di masa depan akan menentukan seberapa sering kondisi tersebut bisa terjadi. Jika emisi di tingkat menengah, Arktik mungkin akan bebas es pada akhir musim panas dan awal musim gugur di bulan Agustus-Oktober.

Namun, jika emisi yang tercipta terus tinggi, Arktik bisa bebas es dalam jangka waktu sembilan bulan di akhir abad ini. Ketika mencair, Bumi tidak lagi akan terlihat berwarna putih karena es melainkan biru menjadi air laut.

"Jadi meskipun kondisi bebas es tidak dapat dihindari, kita tetap harus menjaga emisi serendah mungkin untuk menghindari kondisi bebas es yang berkepanjangan," kata Jahn.

Kabar baiknya, tidak seperti es di Greenland, es di Samudra Arktik bersifat elastis. Sehingga bisa kembali dengan cepat jika atmosfer mendingin.

"Jika kita dapat menemukan cara untuk mengeluarkan kembali CO2 dari atmosfer di masa depan untuk membalikkan pemanasan, es laut akan tetap ada dan waktu pencairannya tidak lagi dalam satu dekade atau 10 tahun," tutup Jahn.




(det/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads