Ramai Kasus Bullying di Sekolah, Pakar Soroti UU Perlindungan Anak & SPPA

ADVERTISEMENT

Ramai Kasus Bullying di Sekolah, Pakar Soroti UU Perlindungan Anak & SPPA

Nikita Rosa - detikEdu
Kamis, 22 Feb 2024 16:30 WIB
Boy showing STOP gesture with his hand. Concept of domestic violence and child abuse. Copy space
Kasus Bullying Lagi-lagi Ramai. (Foto: Getty Images/iStockphoto/gan chaonan)
Jakarta -

Media sosial kembali diramaikan dengan kasus bullying di SMA Binus International, Serpong. Kasus bullying yang terjadi di Tangerang ini, bukan kali pertama di lingkup pendidikan. Hal ini pun kembali menjadi sorotan dari para pakar.

Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terdapat 23 kasus bullying di sekolah pada 2023. Rincian dari 23 kasus tersebut, 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK.

Ramainya kasus tersebut turut ditanggapi Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Samsul Arifin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ari menyebut usia remaja memiliki rasa ingin tahu cenderung sangat tinggi dan dibarengi dengan munculnya keinginan untuk menjadi "Si nomor satu".

"Pada masa ini, banyak anak remaja yang haus akan validasi eksternal, sehingga mereka cenderung untuk berani melakukan segala sesuatu, bahkan cenderung ekstrem, agar bisa mendapatkan validasi eksternal itu," ujar Ari Rabu dalam laman UM Surabaya dikutip Kamis (22/2/2024).

ADVERTISEMENT

Instrumen Pencegahan Masih Nihil

Ari menilai bahwa persoalan utamanya adalah tidak adanya instrumen khusus yang dibuat untuk mencegah hal tersebut.

Meski sudah ada UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Ari menilai dua UU tersebut lebih banyak mengatur terkait dengan penindakan, bukan pencegahan secara masif.

Pasal 54 ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan, anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik dan atau pihak lain.

Pelaku yang berbuat tentu harus bertanggung jawab. Namun dalam UU SPPA menganut restorative justice, yang dikenal dengan istilah "diversi" dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana dengan tetap menjaga tumbuh kembang seorang anak.

"Persoalan muncul karena tidak semua orang tua memiliki perspektif yang sama, sehingga proses diversi menjadi ajang adu kekuatan antar orang tua anak," imbuh Ari lagi.

"Dalam kasus perundungan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi, bahwa dalam perkara anak, UU perlindungan anak dan UU SPPA belum utuh menjadi solusi terhadap persoalan perundungan anak yang sampai saat ini masih sering terjadi di sekolah," pungkasnya.




(nir/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads