Imbauan jangan golput mengemuka pada Pilpres 2024. Di sisi lain, golput tetap ada pada pemilihan presiden dari periode ke periode. Apa sebetulnya golput dan apa alasan perilaku golput?
Golput merupakan singkatan dari golongan putih. Golput adalah perilaku tidak memilih kandidat manapun dalam pemilu.
Golput di Pemilu Indonesia
Pemilu Sebelum Orba dan Saat Orba
Golput pada pemilu mengemuka di masa Orde Baru. Alasannya antara lain karena pemilu tidak berjalan dengan prinsip demokrasi serta birokrasi dan aparatur negara tidak netral, seperti dijelaskan peneliti Sri Yanuarti dalam artikel "Golput dan Pemilu di Indonesia" pada Jurnal Penelitian Politik, dikutip dari laman Garba Rujukan Digital (Garuda) Kemdikbud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Golput di masa Orde Baru juga dinilai muncul karena adanya intimidasi sistematis dari pemerintah demi memenangkan Soeharto di Pilpres. Golput di masa ini juga menjadi bentuk perlawanan pada sistem politik otoriter demi melanggengkan kekuasaan rezim Orba, dikutip dari Desain Partisipasi Masyarakat dalam Pemantauan Pemilu oleh Fadli Ramadhanil, Veri Junaidi, dan Ibrohim.
Rata-rata partisipasi pemilu Orde Baru mencapai lebih dari 90%. Tingginya persentase ini dinilai akibat pemilu di masa ini merupakan bentuk mobilisasi warga, bukan partisipasi.
Sebelum Orde Baru, angka partisipasi Pemilu 1955 mencapai 91,4%. Pada Pemilu 1971, pemilu Orde Baru pertama, angka partisipasi pemilu mencapai 96,6%.
Angka partisipasi politik serupa tampak pada Pemilu 1977 dengan 96,5%, dilanjutkan dengan Pemilu 1987 96,4%. Peningkatan golput terus tampak pada Pemilu 1992 yang diikuti oleh 95,1 persen pemilih, dan Pemilu 1997 yang diikuti 93,6% pemilih.
Pemilu Pascareformasi
Pemilu pascareformasi pada Pemilu 1999 diikuti 92,6% pemilih. Angka partisipasi turun drastis dan golput melonjak pada Pemilu 2004, yang diikuti 84,1% pemilih.
Pilpres 2004 putaran pertama diikuti 78,2% pemilih. Sedangkan putaran kedua 76,6%.
Pada Pemilu 2004, Sri menjelaskan perilaku golput muncul akibat warga kecewa pada institusi politik, baik parlemen maupun partai politik. Faktornya antara lain warga menilai kinerja lembaga eksekutif, presiden, lembaga yudikatif, dan yudikatif buruk sehingga tidak berminat ikut pemilu.
Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, tingkat golput naik dengan 70,9% pemilih saja yang ikut pemilu. Pada Pilpres 2009, angka partisipasi politik mencapai 71,1%. Penurunan partisipasi pemilu para warga ditengarai karena kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak efisien. Sri menjelaskan, buruknya kinerja KPU menyebabkan banyak orang yang memiliki hak pilih tidak masuk daftar pemilih.
Di Pemilu Legislatif 2014, angka partisipasi pemilih naik ke angka 75,11%. Sedangkan pada Pilpres 2014, golput turun tipis dengan angka partisipasi 70%.
Dengan demikian, angka golput dari Pemilu 2004-Pemilu 2014 naik dari sekitar 15% ke 30%.
Fadli dan rekan-rekan menjelaskan, penyebab besarnya angka golput antara lain motivasi beragam para peserta pemilu, yang cenderung mengedepankan kepentingan politik saja dan mengabaikan pendidikan politik bagi rakyat.
Menurutnya, peningkatan kredibilitas dan independensi KPU nantinya dapat bantu melonjakkan kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu. Adanya kepercayaan yang menguat dapat mendorong warga secara sukarela terlibat di proses politik, termasuk menggunakan hak pilih alias tidak golput.
Lebih lanjut, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga harus melibatkan partai politik dalam kampanye pemilu bersih dan jujur.
Sementara itu, golput Pilpres 2019 menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA berdasarkan hasil quick count yakni 19,27%. Sedangkan golput Pemilu Legislatif 2019 mencapai 30,05%.
Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, penurunan golput di Pemilu 2019 antara lain dipengaruhi mobilisasi dengan imbauan jangan golput baik dari kubu capres Joko Widodo maupun Prabowo Subianto saat itu. Dengan begitu, warga merasa suaranya sangat penting, seperti dikutip dari arsip detiknews.
Ardian mengatakan, penurunan golput di Pemilu 2019 juga dipengaruhi gerakan antigolput dari warga sendiri dan aksi pintu ke pintu oleh relawan. Langkah tersebut menekankan bahwa satu suara warga sangat menentukan nasib Indonesia ke depan.
(twu/nwy)