Survei CfDS UGM: Masyarakat RI Ragu Terhadap Kebenaran Isu Krisis Iklim

ADVERTISEMENT

Survei CfDS UGM: Masyarakat RI Ragu Terhadap Kebenaran Isu Krisis Iklim

Devita Savitri - detikEdu
Senin, 05 Feb 2024 18:30 WIB
Ilustrasi Perubahan dan Krisis Iklim
Ilustrasi Perubahan dan Krisis Iklim. Masyarakat Indonesia ternyata ragu terhadap kebenaran isu krisis iklim, begini surveinya. Foto: Pixabay/Wilfried Pohnke
Jakarta -

Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) ungkap keadaan masyarakat Indonesia dalam menyikapi isu krisis iklim. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki tantangan berbeda dalam menghadapi krisis iklim.

Terutama terkait kondisi masyarakatnya yang dinilai belum memahami urgensi adanya perubahan iklim dan diperparah dengan banyaknya misinformasi dalam isu ini. Peneliti dan Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Dr Novi Kurnia MSi MA menjelaskan misinformasi terhadap krisis iklim tidak besar seperti isu lainnya.

Tapi, hal ini penting diangkat terlebih negeri ini memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia. Tetapi 18% masyarakatnya malah termasuk dalam kelompok penyangkal krisis iklim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Indonesia ini memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia, menjadi rumah bagi sebagian besar mamalia dunia. Tapi ternyata 18% penyangkal krisis iklim dunia itu ada di Indonesia," tuturnya dikutip dari rilis di laman resmi UGM, Senin (5/2/2024).

Berangkat dari hal tersebut, CfDS melakukan riset dengan menggunakan metode kuantitatif melalui survei daring terhadap 2.401 responden, selama periode Agustus hingga September 2023 lalu. Metode ini menggunakan sampling non-probabilitas dengan tingkat margin kesalahan kurang lebih 5% dan tingkat kepercayaan sebesar 95%.

ADVERTISEMENT

Komposisi responden mayoritas yang mengikuti survei ini adalah perempuan (63,2%), lajang (56,9%), lulusan sarjana (34,7%) dan Gen Z (51,6%). Pengambilan data secara kuantitatif menjelaskan bila kajian yang dilakukan CfDS ini termasuk dalam bentuk kajian observatoris dengan tiga variabel, yaitu:

  • Pemahaman dan kesadaran responden terhadap krisis iklim.
  • Pola konsumsi informasi terkait krisis iklim.
  • Kemampuan literasi digital responden dalam mengidentifikasi dan merespon misinformasi.

Masyarakat Ragu Terhadap Kebenaran Isu Krisis Iklim

Hasilnya, ditemukan anggapan bila masyarakat Indonesia skeptis (ragu) terhadap isu krisis iklim. Terlebih banyak informasi yang bertebaran dari kelompok penyangkal/penentang krisis iklim.

Novi menjelaskan kelompok penentang krisis iklim berpendapat bahwa krisis iklim terjadi karena hukum alam, bukan dampak dari aktivitas manusia. Opini ini kerap kali dikaitkan dengan unsur politik, kepercayaan dan agama dibandingkan sains.

Mirisnya hal itu benar terbukti dalam survei, di mana 21,5% orang setuju dan 11% orang sangat setuju bila krisis iklim disebabkan oleh semakin banyaknya manusia yang melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya. Sedangkan 25% lainnya setuju bila ilmuwan yang meneliti krisis iklim dikendalikan oleh kaum elit.

Terkait penyebaran informasinya, Novi menjelaskan media sosial menjadi tempat di mana isu krisis iklim paling banyak ditemukan dibandingkan dengan media cetak ataupun televisi. Media sosialnya pun kembali terbagi dengan Instagram paling mendapat suara paling banyak sebesar 39,3%.

"Saya kira menarik bahwa misinformasi dengan tema politik dan pandemi, serta krisis iklim ini pun paling banyak ditemukan di media sosial. di media sosial sendiri isu krisis iklim paling banyak ditemukan responden di Instagram (39,3%), baru kemudian YouTube (20,6%) dan X/Twitter (19,2%)," jelas Novi.

Sebagian besar responden mengaku sering mendapat informasi terkait krisis iklim. Namun, hanya sebagian kecil yang ingin mengetahui lebih lanjut dan kemudian mencari informasi tambahan.

Penyangkal Krisis Iklim Bisa Berubah?

Di kesempatan yang sama, Chairman Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho menjelaskan kelompok ini semakin pintar dalam memaparkan opininya. Mereka dianggap mulai bergeser.

Bila dahulu mereka benar-benar tidak sepakat dengan kehadiran dan dampak krisis iklim. Kini, mereka sudah mulai menerimanya meski tetap solusi peneliti dianggap tidak bekerja.

"Tapi yang sekarang, dia lebih licin lagi. Dia bisa jadi menerima krisis iklim, tapi dia menganggap solusi scientist ini tidak bekerja," ucapnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menjelaskan keraguan informasi terkait perubahan iklim terjadi bukan hanya karena banyaknya informasi yang salah di publik melainkan ada ikut campur kepentingan politik global. Contohnya berhubungan dengan negara industri yang mengalami perdebatan dengan negara selatan, termasuk Indonesia.

"Perubahan iklim ini diakibatkan dua emisi terbesar, satu emisi industri dan emisi deforestasi. Nah, negara industri mengakui bahwa kegiatan industri mereka melepas banyak emisi karbon, tapi mereka menyangkal solusi dari krisis iklim ini adalah menurunkan emisi dari industri mereka," tutupnya.




(det/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads