Siapa Itu Orang Kurdi? Kaum yang Hingga Kini Tak Punya Negara Sendiri

ADVERTISEMENT

Siapa Itu Orang Kurdi? Kaum yang Hingga Kini Tak Punya Negara Sendiri

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 19 Jan 2024 17:30 WIB
Etnis Kurdi merupakan salah satu penduduk asli daratan Mesopotamia. Salah satu etnis terbesar di dunia ini diketahui tak memiliki kewarganegaraan.
Orang Kurdi ada di Turki, Irak, Iran, Suriah, hingga Armenia. Namun, orang Kurdi tidak bisa merdeka dan tidak punya negara sendiri, mengapa? Foto: Getty Images
Jakarta -

Pengawal Revolusi Iran (IRGC) melancarkan serangan rudal balistik ke Kota dan Provinsi Irbil di Wilayah Kurdistan, Senin (15/1/2024) lalu. Serangan ini merenggut nyawa 4 orang termasuk 1 perempuan asal Filipina.

IRGC dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Iran mengatakan serangan itu menargetkan pusat spionase Israel di Irbil. Dikutip dari BBC, pejabat pemerintah daerah Kurdi dan Irak menolak klaim tersebut. Kemenlu Irak menyatakan akan mengajukan keluhan ini ke Dewan Keamanan PBB.

Suku bangsa Kurdi tersebar di dataran tinggi dan pegunungan Irak, Iran, Suriah, Armenia, dan Turki. Kendati tanah mereka yang berada di negara-negara tersebut kerap disebut Kurdistan, wilayah ini bukan negara. Siapa mereka, dan mengapa orang Kurdi tidak punya negara sendiri?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang Kurdi

Orang Kurdi berasal dari suku bangsa yang hidup di Mesopotamia. Kawasan ini dahulu berlokasi di area sungai Tigris dan Efrat, Asia Barat, berbatasan dengan Anatolia (Turki) dan Semenanjung Arab.

Warga suku Kurdi diperkirakan berkembang saat orang-orang suku di Mesopotamia mengenal Islam mulai abad ke-7 M. Orang Kurdi memeluk agama Islam Sunni, menganut tasawuf, sekte, dan lain-lain.

ADVERTISEMENT

Suku Kurdi tradisional hidup nomaden atau berpindah-pindah. Mereka menggembalakan domba dan kambingnya di dataran Mesopotamia dan pegunungan Turki serta Iran. Orang Kurdi tradisional banyak menerapkan pertanian marginal, seperti dikutip dari Encyclopaedia Britannica.

Setelah Perang Dunia I (1914-1918), batas-batas antar negara mulai diberlakukan. Aturan ini menghambat migrasi musiman ternak mereka. Akibatnya, orang suku Kurdi terpaksa meninggalkan cara hidup tradisional di desa, berpindah ke pertanian atau bekerja modern.

Kurdistan Bukan Negara

Dinasti bersejarah di Mesopotamia sempat dipimpin orang Kurdi. Beberapa di antaranya yaitu dinasti Hasanwayhid, dinasti Annazid, dan dinasti Ayyubiyah. Namun, Kurdistan yang berarti land of the Kurds (tanah orang Kurdi) bukanlah sebuah negara.

Unit utama masyarakat Kurdi tradisional adalah suku, yang dipimpin syekh atau aga. Detribalisasi berkembang seiring waktu saat orang Kurdi menjadi urban dan mengalami percampuran budaya dengan sejumlah negara.

Janji Kemerdekaan dan Negara Baru

Orang Kurdi pun mulai terfragmentasi setelah Perang Dunia I. Berbagai gerakan separatis pun muncul di kelompok Kurdi.

Pada 1920, kepentingan bangsa Kurdi atas wilayahnya dan hak nasional untuk menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I ditegaskan Sekutu.

Dalam Perjanjian Sevres 1920 disebutkan, dalam 1 tahun sejak berlakunya perjanjian, suku Kurdi akan memperoleh kemerdekaan dari Turki berdasarkan mayoritas rakyat jika diinginkan dan diberi persetujuan oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Wilayah ini tidak mencakup semua wilayah Kurdi, sebab tidak menyoal tentang wilayah Kurdi di Armenia dan Suriah.

Di Turki, kaum Kemalis tidak mematuhi Perjanjian Sevres. Sekutu juga gagal menegakkannya secara paksa, dikutip dari laman American Society of International Law.

Janji kemerdekaan sebagai sebuah bangsa dengan negara baru ini lenyap saat Perjanjian Lausanne 1923 menggantikan Perjanjian Sevres. Pada perjanjian terbaru itu, tidak disebut-sebut lagi soal hak orang Kurdi.

Selama perundingan di Lausanne, Turki masih menganggap Kurdi sebagai etnis yang berbeda. Perjanjian tersebut mengakui Turki sebagai negara merdeka, sedangkan Kurdistan dimasukkan ke dalam negara berdaulat Iran, Irak, Suriah dan Turki. Akibatnya, kepentingan orang Kurdi dan aspirasi nasional kolektif mereka dihilangkan.

Penghilangan Identitas Kurdi dan Kekerasan

Orang Kurdi di Turki dihilangkan identitasnya dengan disebut sebagai Orang Turki Gunung. Mereka dilarang memakai bahasa Kurdi, hanya boleh menyatakannya sebagai 'dialek bahasa Turki'.

Mereka juga tidak boleh mengenakan pakaian khas Kurdi di kota administratif penting Turki dan sekitarnya. Praktik di atas, di samping perlakuan buruk dan kekerasan pada orang Kurdi, memicu pemberontakan dan korban jiwa.

Pemerintah Iran menerapkan tekanan asimilasi bagi orang Kurdi. Uni Soviet sebelumnya pernah mendukung pembentukan negara merdeka di sekitar Kota Mahabad, Iran, yang sebagian besar dihuni orang Kurdi. Upaya merdeka ini turut memicu permusuhan antara Iran dan orang Kurdi.

Sementara itu, Pemerintah Irak memilih untuk menerapkan represi alih-alih asimilasi. Orang Kurdi masih bisa berbicara bahasanya sendiri dan menerapkan budayanya.

Namun pada 1970-an, pemerintah Irak memaksa orang Kurdi pindah dari Kirkuk, kota strategis yang kaya minyak. Padahal, wilayah ini mayoritas dihuni orang Kurdi. Pemerintah Irak lalu malah memukimkan warga Arab di sana.

Pemberontakan bersenjata orang Kurdi Irak pun memicu sejumlah pertempuran. Akibatnya, ribuan orang Kurdi mengungsi ke Iran dan Turki. Pemerintah Irak juga memusuhi orang Kurdi dan mencurigai orang Kurdi membantu Iran selama Perang Irak-Iran pada 1980-an.

Afiliasi dengan Amerika

Dibantu AS, orang Kurdi kemudian hidup di pemukiman Irak utara. Otoritas sipil otonom di sana sebagian besar bebas dari campur tangan pemerintah Irak. Suku Kurdi juga sempat sukses di pemilu 2005 di Irak, usai jatuhnya Saddam Hussein pada 2003.

Kekerasan dan ketidakstabilan di Irak usai jatuhnya Saddam Hussein juga mengancam orang Kurdi. Di sisi lain, kondisi ini menciptakan peluang kemerdekaan dan otonomi mereka.

Orang Kurdi di Suriah dipandang sebagai lawan utama yang mampu melumpuhkan militan ISIS di darat. Pengusiran ISIS dan kemundurannya memicu referendum kemerdekaan Kurdistan Irak lolos pada September 2017 lalu dengan dukungan lebih dari 93%.

Namun, upaya orang Kurdi meraih kembali wilayah strategis kaya minyak seperti Kirkuk membuat langkah kemerdekaan mereka kembali dijegal tentara Irak.

Pada 2022, Turki juga kembali melancarkan serangan udara ke militan Kurdi di Irak dan Suriah sebagai balasan atas pengeboman di Istanbul pada 13 November. Pemerintah Turki di Ankara menyalahkan partai Kurdi PKK dan Suriah, sekutunya yang didukung AS, atas serangan tersebut.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengancam akan menginvasi Suriah ke depannya. Ia menyatakan tidak akan membedakan antara pemberontak Kurdi Suriah dan PKK.




(twu/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads