Mengapa Wanita Lebih Banyak Menangis? Studi Ini Memaparkan Alasannya

ADVERTISEMENT

Mengapa Wanita Lebih Banyak Menangis? Studi Ini Memaparkan Alasannya

Fahri Zulfikar - detikEdu
Sabtu, 13 Jan 2024 10:05 WIB
Ilustrasi perempuan menangis
Foto: Getty Images/iStockphoto/Phira Phonruewiangphing/Ilustrasi perempuan menangis
Jakarta -

Penelitian tentang menangis dan air mata banyak diteliti oleh ilmuwan. Salah satunya, menangis disebut memiliki manfaat secara fisiologis maupun psikologis.

Seorang profesor psikologi di Universitas Tilburg di Belanda, Ad Vingerhoets, PhD, mengatakan bahwa penelitian tentang menangis tak hanya bisa mengetahui emosional seseorang saja.

Menurutnya, penelitian tersebut membantu kita lebih memahami apa arti air mata manusia dari perspektif sosial, psikologis, dan ilmu saraf.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya pikir penelitian tentang menangis, lebih dari sekadar ekspresi emosional lainnya, dan dapat membantu kita memperoleh wawasan yang lebih baik tentang sifat manusia," ucapnya sebagai peneliti air mata, dalam American Psychological Association, dikutip Kamis (11/1/2024).


Benarkah Wanita Lebih Banyak Menangis?

Peneliti mengatakan bahwa beberapa faktor berperan dalam kecenderungan seseorang untuk menangis. Perbedaan gender dalam menangis, misalnya, telah dieksplorasi selama beberapa dekade di seluruh dunia.

ADVERTISEMENT

Hasilnya, semua penelitian mencapai kesimpulan yang sama yakni wanita lebih banyak menangis dibandingkan pria.

Pada tahun 1980-an, ahli biokimia William H. Frey, PhD, menemukan bahwa wanita menangis rata-rata 5,3 kali sebulan, sedangkan pria menangis rata-rata 1,3 kali per bulan, dengan tangisan yang didefinisikan sebagai tangisan mulai dari mata basah hingga terisak-isak.

Kemudian dalam studi yang terbit pada 2011 di Journal of Research in Personality, Lauren Bylsma, PhD, dari University of Pittsburgh, mengungkapkan data bahwa rata-rata menangis bagi pria dan wanita, kurang lebih masih sama dari yang dilakukan oleh William H. Frey.

Alasan Wanita Lebih Banyak Menangis

Menurut pakar, ada alasan mengapa wanita lebih sering menangis dibandingkan pria jika dilihat dalam sudut pandang biologis.

Pria memiliki hormon testosteron, yang dapat menghambat tangisan. Sementara wanita memiliki tingkat lebih tinggi untuk hormon prolaktin, yang dapat mendorong kecenderungan menangis.

Meski begitu, peneliti mencatat bahwa keinginan untuk menangis tidak semuanya bersifat alami.

Sebuah penelitian (Cross-Cultural Research) tahun 2011, pernah dilakukan terhadap masyarakat di 35 negara.

Hasilnya, ditemukan bahwa perbedaan antara seberapa sering pria dan wanita menangis mungkin lebih terlihat di negara-negara yang memberikan kebebasan berekspresi dan sumber daya sosial yang lebih besar, seperti Chile, Swedia, dan Amerika Serikat.

Sebaliknya, Ghana, Nigeria, dan Nepal melaporkan tingkat air mata yang sedikit lebih tinggi pada perempuan.

Penulis utama studi dan seorang peneliti senior di Organisasi Penelitian Ilmiah Terapan Belanda, Dianne Van Hemert, PhD, mengatakan bahwa orang-orang di negara-negara kaya mungkin lebih banyak menangis karena mereka hidup dalam budaya yang mengizinkannya.

Sementara orang-orang di negara-negara miskin mungkin lebih sering menangis karena lebih banyak hal yang perlu ditangisi.

Menangis sebagai Ekspresi Emosi dan Keamanan

Penelitian lain juga mencatat, bahwa menangis mencerminkan gaya keterikatan. Dalam bukunya "Seeing Through Tears: Crying and Attachment" (Routledge, 2005), psikoterapis Judith Kay Nelson, PhD, merangkum penelitian masa lalu dan menyimpulkan bahwa orang yang memiliki keterikatan aman lebih nyaman mengekspresikan emosi dan menangis dengan cara yang dianggap normal dan sehat.

Sementara mereka yang memiliki keterikatan yang tidak aman mungkin menangis secara tidak wajar, dengan air mata yang mudah dikeluarkan dan sulit untuk diredakan.

Terkait manfaat menangis, bagi bayi, air mata berfungsi sebagai alat komunikasi yang penting, memungkinkan mereka menunjukkan kebutuhannya akan dukungan.

Kemudian pada masa dewasa, sebuah studi menunjukkan air mata dapat berperan sebagai terapi.

Tiga puluh tahun yang lalu, ahli biokimia Frey menemukan bahwa air mata emosional membawa lebih banyak protein dibandingkan air mata non-emosional (misalnya, dari memotong bawang).

Implikasinya adalah ketika seseorang menangis karena alasan emosional, maka akan terlibat dalam proses penyembuhan. Namun, peneliti Vingerhoets mengatakan dia telah mencoba dua kali tetapi tidak berhasil untuk meniru eksperimen ini.

Kemudian peneliti bernama Bylsma melakukan studi harian terhadap siswi yang juga mempertanyakan teori Frey.

Dia menemukan bahwa hanya sekitar 30 persen siswa mengatakan suasana hati mereka membaik setelah menangis. Sebanyak 60 persen melaporkan tidak ada perubahan dan sekitar 9 persen mengatakan suasana hati mereka memburuk.

Para wanita juga turut melaporkan suasana hati mereka pada hari yang sama saat tangisan itu terjadi. Hal ini berbeda tidak seperti penelitian lain yang meminta orang untuk merenungkan kembali tangisan mereka.

"Ingatan kita mungkin terdistorsi seiring berjalannya waktu," kata Bylsma.

Melalui penelitian yang terbit di Journal of Research in Personality, Bylsma dan rekannya menemukan bahwa menangis lebih cenderung membuat orang merasa lebih baik ketika mereka mendapat dukungan emosional (seperti teman dekat di dekatnya).

Orang yang menangis akan merasa lebih buruk jika mereka merasa malu atau malu untuk menangis, jika mereka berada bersama orang-orang yang tidak mendukung, atau jika mereka menangis karena melihat penderitaan.

"Secara keseluruhan, partisipan cenderung merasa lebih baik jika mereka menangis sendirian atau bersama orang lain. Namun merasa lebih buruk atau tidak mengalami perubahan suasana hati jika mereka menangis bersama dua orang atau lebih," tutuy Bylsma.




(faz/nwy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads