Pernahkah terlintas di benak detikers beberapa kata yang lebih mudah diingat daripada beberapa kata lainnya dengan makna yang sama? Seperti lebih mengingat kata 'selera' dibandingkan 'cita rasa' atau kerap mengingat merek tertentu karena teringat slogan iklan.
Selama lebih dari satu abad, para psikolog telah mencoba memahami daya ingat suatu kata. Apakah kita melekat pada kata-kata yang berkaitan dengan tema tertentu atau suara-suara tertentu yang justru melekat dalam benak pikiran?
Ada Aka, asisten profesor pemasaran di Stanford Graduate School of Business, menguji sejumlah teori tentang daya ingat kata menggunakan model pembelajaran mesin (machine learning).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kata-kata tertentu yang diingat oleh banyak orang di berbagai kondisi berbeda. Dan ada kata lain yang cenderung dilupakan orang," kata Aka, dikutip dari Stanford Graduate School of Business (6/12/2023).
Penelitian yang dilakukan bersama Sudeep Bhatiaopen dan John McCoyopen dari University of Pennsylvania, mengidentifikasi pola yang menunjukkan adanya psikologi konsisten di balik kata-kata yang kita ingat.
Berdasarkan penelitian yang terbit dalam Jurnal Cognition pada Oktober 2023 kemarin, diketahui daya ingat kata berhubungan dengan faktor semantik yang lebih berkesan.
Di sisi lain, orang lebih cenderung melupakan kata-kata yang berhubungan dengan proses kognitif dan waktu. Selain itu, kata-kata negatif cenderung lebih berkesan dibandingkan kata-kata positif.
Temuan tersebut dinilai konsisten terjadi pada puluhan partisipan. Aka menduga mungkin ada aspek evolusi dalam ingatan selektif yang umum. "Melihat orang-orang pada titik waktu yang berbeda dan daftar kata yang berbeda daya ingatnya sangat mirip," ujar Aka.
Hal ini berarti semakin erat kaitan suatu kata dengan kelangsungan hidup, maka semakin besar kemungkinan kita mengingat kata tersebut.
Uji Kognitif dan Analisis Semantik Melalui Machine Learning
Proyek ini menggunakan model komputasi untuk menganalisis ratusan variabel yang mungkin mempengaruhi daya ingat.
Dengan cakupan tersebut, Aka bersama rekan-rekan peneliti, mampu menangkap gambaran lebih dalam dan lebih lengkap tentang jenis kata yang paling mungkin diingat.
Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan 24 kali pengujian kognitif pada para relawan partisipan yang datang ke laboratorium dan diminta mempelajari ratusan kata di depan komputer.
Dalam studi ini, para peneliti mengeksplorasi dua proses memori ini secara bersamaan. Tugas kognitif ini menggunakan dua analogi yaitu pengenalan kata dan ingatan kata, seperti pada saat kita bertemu seseorang dengan wajah yang mirip kita kenal sebelumnya.
Selanjutnya, Aka dan rekan-rekannya menggabungkan kumpulan data mereka dengan Word2Vec, yaitu machine learning model bahasa alami yang menangkap hubungan semantik antar kata.
Meskipun terdapat variasi antar ingatan individu, model yang dikembangkan dalam penelitian tersebut mampu menangkap hubungan antara daya ingat ratusan kata dalam kategori berbeda.
Hasilnya, Aka dan rekan penulisnya, menemukan bahwa jenis kata yang kita ingat mirip dengan kata yang kita kenali. "Ternyata faktor-faktor penentu semantik sebenarnya cukup stabil," kata Aka.
Para peneliti juga memvalidasi hasil temuan dengan meminta model tersebut mempelajari data untuk memprediksi daya ingat suatu pilihan kata baru.
Model tersebut tidak hanya mampu memprediksi daya ingat secara akurat, tapi secara signifikan lebih baik dibandingkan manusia dalam memprediksi kata mana yang akan diingat.
Machine Learning Bantu Perkembangan Penelitian
Aka tahu bahwa mengungkap kata-kata yang diingat tidak cukup menjelaskan sepenuhnya apa yang kita ingat dan alasannya. Hal ini karena kita kerap menemukan kata-kata dalam kalimat utuh sehari-hari, jingle, atau rima yang mengalami pengulangan semantik.
Ia menilai bahwa dinamika memori untuk mempelajari dan mengingat kata-kata sangat mirip karena merupakan jenis skenario untuk memahami apa yang kita ingat beserta alasannya.
Selain itu, model machine learning ini dinilai menarik karena mampu membuat prediksi tentang kata-kata yang tidak termasuk dalam 600 atau lebih kata yang dilatih.
Artinya, para peneliti dapat menguji hipotesis baru seperti apakah kata-kata yang berhubungan dengan rasa sakit lebih mudah diingat dibandingkan kata-kata yang berhubungan rasa senang.
Terlebih, kumpulan data hasil tim tersebut bersifat terbuka dapat diakses siapa saja sehingga peneliti lain dapat menggunakannya untuk menguji teori mereka untuk perkembangan penelitian di bidang tersebut.
"Dengan kemajuan terkini dalam ilmu data dan pemrosesan bahasa alami, jenis pekerjaan berbasis data ini jauh lebih mungkin dilakukan, dan saya pasti siap memanfaatkan kekuatan itu," ungkap Aka.
(pal/pal)