Penggunaan Artificial Intelligence (AI), kini semakin marak di semua kalangan termasuk civitas akademika. Namun, mudahnya penggunaan AI dalam bidang pendidikan ini menjadi tantangan tersendiri terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfatika Aunuriella Dini, karya AI hanyalah hasil pemrosesan berbagai data yang didaur ulang sedangkan karya yang lebih baru dan kreatif tetap buatan manusia.
"Tantangan di bidang akademik ini banyak bersinggungan ya dengan kekayaan intelektual. AI saya rasa tidak akan pernah menggantikan manusia. Tapi orang-orang yang tidak bisa atau tidak mau memanfaatkan AI inilah yang akan ketinggalan," katanya, dikutip dari laman UGM, Selasa (12/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perlunya Regulasi Penggunaan AI
Potensi AI dapat mencuri HAKI orang lain ini bisa disiasati dengan penerapan regulasi yang jelas. Alfatika menyebut Indonesia bisa berkaca ke negara Kanada yang memiliki undang-undang Personal Information Protection and Electronic Documents Act (PIPEDA).
"Kanada ini sendiri memiliki perkembangan dan pengaturan AI yang sangat progresif. Untuk PIPEDA sendiri adalah UU yang kuat untuk penggunaan AI. UGM sendiri perlu bangga karena kita memiliki AI Center sendiri, walaupun baru dirilis di awal tahun ini, tapi ke depan harapannya bisa menjadi langkah yang sangat bagus," ucapnya.
Pengungkapan Data Pribadi
Sub Koordinator Kerja Sama dan Kelembagaan Pengendalian Data Pribadi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rindy menyebut di balik penggunaan AI ada potensi pengungkapan data pribadi yang bisa terjadi.
"Ada tiga tahap di mana data pribadi digunakan oleh AI. Pertama, data pribadi digunakan oleh AI dalam tahap pengujian untuk memperkuat kecerdasan dari AI. Kemudian, data pribadi dapat digunakan untuk menghasilkan keputusan. Pada saat penerapan inilah pengguna akan memasukkan data pribadinya. Selanjutnya, saya melihat ada potensi pengungkapan data pribadi seseorang melalui output AI, seperti ChatBot," ungkapnya.
Dalam hal pengungkapan data ini, Indonesia telah memproteksi pengguna dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Peraturan tersebut mengharuskan subjek seperti perseorangan, korporasi, badan publik, dan organisasi internasional memastikan apakah data yang digunakan oleh AI merupakan data yang didefinisikan sebagaimana dalam UU tersebut.
"Mengidentifikasi data pribadi itu tidak semudah itu. Kalau saya input nama saja itu data pribadi. Kalau saya input alamat saja itu data pribadi. Balik lagi, apakah data yang diinput atau data secara tunggal yang diinput adalah sata yang benar-benar bisa digunakan untuk sampai mengidentifikasi orang perseorangan atau individu tertentu," tambah Rindy.
(cyu/nwk)