Selepas serangan bom menghancurkan Kota Khan Younis, di selatan Gaza, pada Selasa (24/10), sekelompok pria menggali reruntuhan dan menemukan dua jenazah anak-anak bernama Sila Hamdan (11 Tahun) dan adiknya Tila (9 tahun). Anak-anak itu terbunuh setelah bom menghancurkan 15 rumah di daerah tersebut dan menewaskan sedikitnya 37 orang.
Kedua anak-anak tak bersalah itu merupakan salah dua dari 3.000 anak-anak Palestina yang menjadi korban akibat serangan Israel dalam beberapa minggu terakhir. Di sisi lain, 6.000 anak-anak lainnya terluka dan telah menyaksikan berbagai kengerian yang terjadi.
"Saya ulangi, 3.000 anak-anak, anak-anak tak berdosa, malaikat kecil tewas di Gaza selama tiga pekan terakhir," kata Riyad Mansour, Utusan Palestina di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dikutip dari Anadolu Agency.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini kriminal. Ini barbarisme. Jika Anda tak menghentikan ini, semua akan tewas. Hentikan ini agar semua bisa selamat," imbuhnya.
Kengerian yang Disaksikan Anak-anak Palestina
Anak-anak merupakan separuh dari hampir 2,3 juta penduduk Gaza, tempat yang dikenal dengan populasi padat di tanah Palestina. Ditambah, sekitar 40 persen penduduk wilayah yang menjadi sasaran konflik adalah berusia di bawah 18 tahun.
Selama ini, banyak dari anak-anak di Gaza lahir dalam blokade ketat Israel. Parahnya, saat mereka tumbuh, mereka harus menyaksikan bom menghancurkan lingkungan mereka.
UNICEF mencatat, apa yang dilihat dan dirasakan anak-anak di Palestina merupakan dampak yang sebenarnya dari kekerasan yang terjadi di Gaza dan Israel.
Sebab, kengerian yang sesungguhnya akan diukur dari kehidupan anak-anak, baik saat terdampak langsung maupun dampak jangka panjang yang akan mengubah anak-anak selamanya.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, rata-rata lebih dari 480 anak menjadi korban setiap harinya.
"Situasi di Jalur Gaza semakin menodai hati nurani kita. Tingkat kematian dan cedera pada anak-anak sungguh mencengangkan," kata Adele Khodr, direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dikutip dari NBC News.
"Hampir setiap anak di Jalur Gaza terkena peristiwa yang sangat menyedihkan dan trauma," kata UNICEF.
Air Mata, Ketakutan, dan Trauma: Apa yang Tersisa dari Anak-anak Palestina?
Dampak nyata dari kengerian yang disaksikan anak-anak Palestina, faktanya bisa membayangi tumbuh kembang mereka hingga ke masa depan.
Pada tahun 2022, menurut laporan Save the Children, diketahui 4 dari 5 anak di Gaza sudah hidup dalam depresi, ketakutan dan kesedihan. Lebih dari setengahnya mengatakan mereka pernah berpikir untuk bunuh diri dan tiga dari lima anak di antaranya melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.
Penelitian menunjukkan, bayi yang belum lahir tidak bisa lepas dari trauma perang.
Bayi dalam kandungan akan mengalami trauma dari ibunya. Hal ini dapat memengaruhi perkembangannya saat ia lahir. Dengan kondisi seperti ini, trauma tersebut bergema dari generasi ke generasi.
Seorang psikolog konseling spesialis di City University of London, Jeeda Al-Hakim, mengatakan bahwa bagi anak-anak yang menyaksikan pengeboman, serangan rudal, atau kehilangan keluarga, manifestasi psikologis dari syok dapat menambah atau menciptakan masalah fisik tambahan.
"Mereka mungkin gemetar tak terkendali, menjadi bisu atau tidak dapat berbicara, menutup diri secara emosional, atau mengalami serangan panik," katanya dikutip dari Arab News.
"Di dalam tubuh, trauma memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Hal ini menyebabkan masalah fisik seperti sakit kepala, sakit perut, detak jantung cepat, dan kurang tidur," imbuh Al-Hakim menjelaskan.
Di sisi lain, menurut Ayesha Kadir, penasihat senior kesehatan kemanusiaan di Save the Children, selama konflik terjadi, anak-anak di Gaza tidak hanya mendapatkan paparan kekerasan yang berdampak pada kesehatan mental mereka.
Namun, anak-anak di Gaza juga akan menghadapi kesulitan lain seperti pengungsian paksa karena tidak punya tempat yang benar-benar aman untuk dituju. Selain itu, kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan sanitasi.
Pada saat yang bersamaan, mereka juga akan menjalani kehidupan ke depan dengan bayang-bayang menyaksikan anggota keluarga atau teman yang mengalami kekerasan.
"Paparan langsung dan tidak langsung berbahaya bagi kesehatan mental anak-anak, bahkan bagi anak-anak yang tinggal jauh dari tempat terjadinya pertempuran dan pengalaman seperti itu sering kali dapat saling memperparah," papar Kadir.
Seruan UNICEF untuk Selamatkan Anak-anak di Gaza
Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, memberi catatan penting bahwa nyawa anak-anak dan masa depan mereka adalah mata uang sesungguhnya yang harus digunakan untuk menghitung kerugiannya.
Meskipun ia menegaskan, bahwa kerugian tersebut selalu tidak dapat diterima. Sebab, setiap hak anak telah diinjak-injak.
"Saya memohon kepada orang-orang dewasa yang melakukan kekerasan untuk menyetujui gencatan senjata kemanusiaan, dan memastikan akses kemanusiaan yang segera, tidak terbatas, dan berkelanjutan di seluruh Gaza sehingga memungkinkan para aktivis kemanusiaan menjangkau warga sipil yang membutuhkan dengan aman, menyelamatkan nyawa, dan mencegah penderitaan manusia lebih lanjut," ucap Russell.
Ia juga menyeru bahwa UNICEF menginginkan anak-anak yang disandera di Gaza segera dibebaskan dan aman sehingga mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga mereka.
"Kita sudah berpuluh-puluh tahun memasuki siklus kekerasan dan pembalasan ini, dan semakin lama siklus ini berlanjut, semakin banyak kerugian yang kita alami dan anak-anaklah yang paling menderita," tuturnya.
(faz/twu)