Studi: Orang dengan Variasi Gen Tertentu Lebih Sensitif pada Rasa Sakit

ADVERTISEMENT

Studi: Orang dengan Variasi Gen Tertentu Lebih Sensitif pada Rasa Sakit

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 19 Okt 2023 09:30 WIB
Manusia purba Neanderthal tidak punah karena manusia modern, menurut bukti terbaru
Foto: BBC Magazine
Jakarta -

Genom manusia Neanderthal memiliki jejak di dalam gen manusia modern. Kehadiran gen-gen kuno ini misalnya, mampu membuat seseorang lebih berisiko terkena COVID-19 yang parah, memengaruhi bentuk hidung, dan bahkan membuat beberapa orang lebih sensitif terhadap rasa sakit.

Sebuah studi baru yang diterbitkan 10 Oktober di jurnal Communications Biology menemukan bahwa mereka yang membawa tiga varian gen Neanderthal, lebih sensitif terhadap rasa sakit akibat tusukan di kulit, setelah terkena paparan minyak mustard.

Dalam hal ini, minyak mustard bertindak sebagai agonis, atau zat yang memulai respons fisiologis. Menambahkannya ke kulit menyebabkan respons cepat oleh neuron yang disebut nosiseptor yang menimbulkan rasa sakit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gen Kunci Persepsi Nyeri

Terdapat gen bernama SCN9A yang merupakan kunci dalam persepsi nyeri yang terletak pada kromosom 2. Nosiseptor berintensitas tinggi akan diaktifkan ketika titik tajam atau sesuatu yang panas disentuhkan pada tubuh.

Neuron kemudian mengkodekan protein dalam saluran natrium tubuh dan mengingatkan bagian otak yang mengarah pada persepsi nyeri. Penelitian sebelumnya menemukan tiga variasi pada gen SCN9A dalam rangkaian genom Neanderthal dan menemukan sensitivitas yang lebih besar terhadap rasa sakit pada manusia yang memiliki ketiga varian ini.

ADVERTISEMENT

"Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa mutasi langka pada gen yang menghentikan aktivitas saluran ini dapat menyebabkan ketidakpekaan terhadap rasa sakit," kata salah satu rekan penulis studi dan ahli saraf Universitas Oxford, David Bennett, kepada PopSci.

"Namun, kami tertarik pada mutasi lainnya yang terbukti memiliki efek berlawanan dengan meningkatkan aktivitas saluran ini, sehingga menyebabkan pembawa mutasi menjadi lebih sensitif dibandingkan nonpembawa," jelasnya.

Menurut AndrΓ©s Ruiz-Linares, rekan penulis sekaligus ahli genetika manusia di University College London, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mutasi cukup jarang terjadi pada populasi Inggris, namun sangat sering terjadi pada populasi Amerika Latin.

"Oleh karena itu, kami menyadari bahwa kami memiliki kumpulan data yang sempurna untuk tak cuma mereplikasi penelitian mereka, tetapi juga mengelaborasi lebih jauh dan mengidentifikasi modalitas rasa sakit yang bekerja," kata Ruiz-Linares kepada PopSci.

Dalam studi tersebut, tim mengukur ambang rasa sakit dari 1.963 orang dari Kolombia sebagai respons terhadap berbagai rangsangan. Ketiga variasi gen tersebut dikaitkan dengan ambang nyeri yang lebih rendah sebagai respons terhadap penusukan kulit setelah terkena minyak mustard, tetapi tidak sebagai respons terhadap tekanan atau panas. Selain itu, membawa ketiga varian ini dikaitkan dengan sensitivitas nyeri yang lebih besar dibandingkan hanya membawa salah satu varian tersebut.

Ahli pun menemukan bahwa ketiga varian Neanderthal lebih umum terjadi di wilayah yang populasinya memiliki proporsi keturunan penduduk asli Amerika yang lebih tinggi, seperti populasi Peru.

"Mutasi tersebut memiliki rentang yang cukup luas di negara-negara ini, dari 2 hingga 42 persen," kata ahli genetika statistik dari University College London, Kaustubh Adhikari.

"Hingga 18 persen populasi mereka dapat membawa dua salinan mutasi. Namun, ini hanyalah perkiraan kasar. Kita juga tahu, dari penelitian sebelumnya, bahwa mutasi ini sangat jarang terjadi pada populasi Eropa," terangnya.

"Meskipun percampuran Neanderthal dengan manusia Eropa kini sudah dikenal dalam budaya populer, kontribusi genetik mereka terhadap kelompok manusia lain, seperti penduduk asli Amerika, jarang dibicarakan," ujar ahli genetika populasi di National Research Institute for Pertanian, Pangan dan Lingkungan di Perancis Pierre Faux.

"Dalam penelitian ini, kami melihat betapa penting dan relevan mempelajari latar belakang genetik yang kurang terwakili dalam kelompok medis," katanya.

Karena nyeri akut dapat berperan dalam memoderasi perilaku dan mencegah cedera lebih lanjut, tim tersebut merencanakan penelitian tambahan untuk menentukan apakah kepemilikan varian ini dan kepemilikan sensitivitas yang lebih besar terhadap rasa sakit bermanfaat selama evolusi manusia. Memahami cara kerja varian tersebut juga dapat membantu dokter memahami dan mengobati nyeri kronis.

"Gen hanyalah salah satu dari banyak faktor, termasuk lingkungan, pengalaman masa lalu, dan faktor psikologis, yang memengaruhi rasa sakit," kata Bennet.




(nah/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads