Tenggiling merupakan salah satu contoh hewan nokturnal atau giat pada malam hari. Nama panggilannya yang berarti "mengguling" dalam bahasa Melayu, mereka adalah makhluk malam yang jarang terlihat.
Salah satu jenis tenggiling yang ada di dunia adalah tenggiling berbulu halus. Sebelumnya, para peneliti meyakini bahwa semua tenggiling bulu halus termasuk dalam spesies yang sama.
Namun, pada 2017 seorang peneliti kedokteran konservasi di Universitas Negeri Santa Cruz di Brasil, FlΓ‘via Miranda dan rekan-rekannya mempublikasikan analisis mengenai DNA tenggiling bulu halus di penjuru Amerika dan menemukan ada 7 spesies berbeda di antaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamatan pada tenggiling ini dilakukan di Delta ParnaΓba, Brasil. Dimana ini adalah lokasi Miranda dan timnya menemukan trenggiling halus yang sangat berbeda dengan trenggiling halus lainnya.
Tidak hanya itu, trenggiling ini hidup terisolasi jauh dari kerabat terdekat mereka di Lembah Amazon dan hutan hujan tropis di sepanjang pantai Atlantik Brasil.
Sejumlah penelitian awal menunjukkan bahwa trenggiling ini mungkin merupakan spesies baru yang telah berevolusi secara terpisah.
Trenggiling halus sendiri adalah trenggiling terkecil dan merupakan yang pertama berevolusi, antara 30 juta dan 40 juta tahun yang lalu. Hewan ini dikenal dengan kebiasaan memakan semut dan rayap. Jika tidak mendapatkannya, mereka akan lebih banyak tidur.
"Saya selalu merasa bahwa ada lebih dari satu spesies."
"Saya memperhatikan perbedaan warna bulu populasi di berbagai wilayah," kata Miranda yang telah mempelajari sloth, trenggiling, dan armadillo di Brasil selama 30 tahun.
Sehingga ini menjadi petunjuk penting yang mendukung klaim bahwa trenggiling di Delta ParnaΓba adalah spesies yang berbeda.
Terbaru, Miranda mempelajari sebuah sampel tenggiling bulu halus di Delta ParnaΓba, sekitar 175 mil sebelah timur kota SΓ£o LuΓs di Brasil. Diperkirakan, sampel tenggiling bulu halus ini adalah spesies kedelapan.
Analisis genetik yang dilakukan Miranda menunjukkan bahwa trenggiling di Delta ParnaΓba telah berpisah secara evolusioner selama sekitar dua juta tahun. Ini menandakan bahwa mereka telah mengikuti jalur evolusi yang berbeda dari tenggiling halus lainnya.
Meskipun hasil analisis genetik adalah petunjuk yang kuat, peneliti juga memerlukan bukti fisik yang mendukung klaim ini. Itu sebabnya, Miranda dan timnya terus mengumpulkan sampel darah dan melakukan pengukuran terhadap tenggiling di Delta ParnaΓba.
Mereka mencari bukti-bukti fisik yang menunjukkan perbedaan lebih lanjut antara tenggiling delta dan tenggiling halus lainnya. Dengan cara ini, mereka dapat memperkuat klaim bahwa tenggiling ini adalah spesies baru yang berbeda secara evolusioner.
"Setidaknya, kami yakin bahwa populasi ini berbeda secara evolusi dan dalam proses menjadi spesies terpisah," pungkasnya, dikutip dari Smithsonian Magazine.
Pelestarian Hutan Jadi Kunci Penelitian Trenggiling
Sejak kedatangan Miranda ke Delta ParnaΓba, hutan itu jelas bukan bukan tempat yang dapat mendukung keberlangsungan populasi tenggiling.
Delta ParnaΓba sebelumnya terancam oleh penebangan hutan bakau untuk berbagai keperluan, termasuk pagar, perumahan, dan perahu. Selain itu, hewan ternak seperti sapi dan babi merusak hutan bakau dengan merusak tumbuhan dan merumput secara berlebihan.
Hingga pada tahun 2011, Miranda mulai melibatkan penduduk setempat dalam upaya pelestarian hutan bakau dengan menanam bibit bakau di lahan pembibitan untuk ditanam kembali di delta dan mengamankan kawasan tersebut dari hewan ternak.
Kolaborasi ini berhasil melakukan restorasi habitat tenggiling dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang. Dengan demikian, hal ini mewujudkan hutan bakau kembali pulih dan memberikan perlindungan kepada trenggiling serta spesies lain yang tinggal di sana.
"Kelangsungan hidup komunitas kami terancam oleh perubahan iklim, naiknya permukaan air laut dan badai," kata Paulinho Morro do Meio, seorang nelayan yang sekaligus salah satu kolaborator Miranda.
"(Mangrove) adalah pertahanan terbaik kami, dan kami bekerja keras untuk memulihkannya," tambah Paulinho.
Ini adalah contoh bagaimana konservasi alam dan penelitian ilmiah dapat saling mendukung dalam upaya pelestarian.
Dengan alasan-alasan ini, penelitian FlΓ‘via Miranda di Delta ParnaΓba, Brasil, menjadi sangat menarik. Ini dapat membuka pintu untuk penemuan spesies baru yang sangat berharga dalam dunia ilmu pengetahuan dan konservasi. Selain itu, hal ini juga menyoroti pentingnya pelestarian hutan bakau dan upaya masyarakat setempat dalam melestarikannya.
(nah/nah)