Teh susu, termasuk bubble tea, tengah naik daun di China dan wilayah Asia lainnya. Apakah kamu termasuk pecinta teh susu, detikers?
Popularitas minuman manis ini terus naik beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, para ilmuwan menyoroti hubungan antara teh susu dengan kesehatan mental.
Para peneliti dari Universitas Tsinghua dan Universitas Pusat Keuangan dan Ekonomi di China melakukan penelitian pada 5.281 mahasiswa di Beijing. Temuannya, kecanduan teh susu berkaitan dengan masalah seperti depresi dan kecemasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Teh susu telah mengalami pertumbuhan popularitas yang luar biasa di China, terutama di kalangan anak muda," tulis para peneliti dalam makalah yang mereka terbitkan dikutip dari Science Alert Selasa (4/10/2023).
"Temuan kami menyoroti bahwa konsumsi teh susu dapat menyebabkan kecanduan, dan hal ini terkait dengan depresi, kecemasan, dan keinginan bunuh diri," imbuhnya.
Dengan menggunakan skala kecanduan, tim menemukan bukti bahwa beberapa anak muda menunjukkan tanda-tanda kecanduan. Hampir setengah dari mereka yang disurvei mengatakan mereka minum setidaknya satu cangkir teh susu dalam seminggu.
Tak Cuma Penuh Gula
Selain tambahan gula, teh susu sering kali mengandung kafein. Peneliti menambahkan jika jenis minuman ini dapat menyebabkan suasana hati yang buruk dan isolasi sosial pada remaja.
Lanjut mereka, minuman ini juga membuat ketagihan dan merusak seperti halnya media sosial atau obat-obatan.
Teh Susu Sebagai Pengatur Emosi
Para peneliti berpendapat bahwa remaja di China dan negara lain mungkin menggunakan teh susu sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah dan mengatur emosi.
"Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi teh susu dapat menyebabkan gejala kecanduan, termasuk frekuensi, ketergantungan/keinginan, niat untuk berhenti, tidak mampu berhenti, toleransi, dan perasaan bersalah," tulis para peneliti.
Tim merekomendasikan agar tindakan diambil untuk mencegah masalah fisik dan mental muncul akibat kecanduan teh susu. Mulai dari obesitas dan kerusakan gigi hingga depresi.
"Temuan saat ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam mengembangkan peraturan seperti membatasi iklan, memberikan pendidikan psikologi, menetapkan standar kebersihan makanan untuk industri konsumsi yang didominasi kaum muda sekaligus melindungi kesehatan mental mereka," tulis para peneliti.
(nir/nwk)