Ngeri! Manusia Ternyata Biang Keladi Kepunahan Massal bagi Banyak Spesies

ADVERTISEMENT

Ngeri! Manusia Ternyata Biang Keladi Kepunahan Massal bagi Banyak Spesies

Noor Faaizah - detikEdu
Jumat, 22 Sep 2023 19:30 WIB
An aerial view shows a deforested area during an operation to combat deforestation near Uruara, Para State, Brazil January 21, 2023. REUTERS/Ueslei Marcelino     TPX IMAGES OF THE DAY
Foto: Reuters/Ueslei Marcelino/Ulah manusia memusnahkan habitat flora fauna
Jakarta -

Sebuah penelitian di Frontiers in Forests and Global Change mengungkapkan bahwa manusia telah mengubah 97 persen lahan Bumi dan menyebabkan hilangnya habitat dan spesies bagi hewan dan tumbuhan.

Melihat data tersebut, berarti hanya sekitar tiga persen ekosistem daratan Bumi yang belum tersentuh oleh aktivitas manusia. Hal ini menarik perhatian ilmuwan untuk terus menelusuri periode kepunahan sejak dulu sampai sekarang, dan akibat yang diberikan.

Belum lama ini, sebuah studi mengungkapkan bahwa kepunahan yang terjadi akibat manusia tidak hanya pada level spesies, melainkan hingga ke tingkatan taksonomi yang lebih tinggi yakni genus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gerardo Ceballos dari National Autonomous University of Mexico, dan Paul Ehrlich dari Stanford School of Humanities and Sciences, mengatakan kepunahan massal selama 500 juta tahun terakhir dengan cepat menghilangkan cabang-cabang pohon filogenetik kehidupan yang disebut dengan "mutilasi pohon kehidupan".

Akibatnya, beberapa spesies membutuhkan waktu jutaan tahun untuk berevolusi hingga menghasilkan pengganti fungsional organisme yang sudah punah sebelumnya.

ADVERTISEMENT

"Kepunahan massal keenam yang disebabkan manusia lebih parah dan cepat dari perkiraan sebelumnya," tulis peneliti, dikutip dari laman resmi Stanford University.

Adapun beberapa fauna seperti Merpati Penumpang, Harimau Tasmania, Baiji, atau Lumba-lumba Sungai Yangtze merupakan korban dari kepunahan massal keenam.

Tingkat Kepunahan 35 Kali Lebih Tinggi dari Perkiraan

Dalam studi yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, peneliti mengatakan tingkat kepunahan umum saat ini 35 kali lebih tinggi dari perkiraan tingkat kepunahan yang terjadi dalam jutaan tahun terakhir.

Padahal, genera (bentuk jamak dari genus) yang punah dalam lima abad terakhir memerlukan waktu sekitar 18.000 tahun untuk menghilang sepenuhnya bila tidak ada kehadiran manusia.

Menurut peneliti, tindakan-tindakan manusia dalam memusnahkan spesies hewan vertebrata itu ratusan kali lebih cepat dari proses mereka punah sendiri.

"Ini menunjukkan potensi dampak besar pada evolusi kehidupan di Bumi," terang penulis studi.

Parahnya, menurut Ceballos, hewan-hewan yang sudah punah tersebut merupakan anggota terakhir dari genus mereka. Hal ini membuat kondisi kepunahan pada kelompok taksonomi level genus yang lebih tinggi dari level spesies, menunjukkan kemungkinan krisis kepunahan akan semakin parah.

"Dalam jangka panjang, kita akan memberikan dampak besar pada evolusi kehidupan di planet ini. Tetapi, di abad ini, apa yang kita lakukan terhadap 'pohon kehidupan' akan menyebabkan banyak penderitaan bagi umat manusia," ucapnya.

Kemusnahan Tingkat Genus akan Berdampak Lebih Parah

Pada studi ini, peneliti memeriksa 5.400 genera vertebrata (tidak termasuk ikan) yang terdiri dari 34.600 spesies. Sebanayak 73 genera vertebrata darat telah punah sejak 1500 Masehi.

Kelas taksonomi aves atau kelompok burung menderita kerugian terbesar, yaitu kepunahan pada 44 genus, lalu disusul kelas mamalia, amfibi, dan reptil.

Kepunahan pada level genus akan berdampak lebih parah dibandingkan kepunahan pada tahap spesies.

"Ketika suatu spesies punah, maka spesies lain dalam genus yang sama seringkali dapat mengisi perannya dalam ekosistem. Terlebih, satu spesies biasanya membawa genetik 'sepupu' satu genus mereka sehingga memungkinkan pertahanan kelompok fauna dan potensi evolusi yang masih besar," papar Ceballos.

Dalam penelitian tersebut, evolusi kelompok taksonomi ini digambarkan dalam sebutan 'pohon kehidupan'. Jika satu 'ranting' (suatu spesies) patah maka ranting-ranting lainnya relatif bercabang lebih cepat dengan mengisi celah cabang pohon. Dalam hal ini, keanekaragaman spesies di Bumi kurang lebih tetap stabil.

Sedangkan, bila seluruh 'cabang' (genus) tumbang, maka akan meninggalkan lubang besar pada dahan pohon. Dalam hal ini, hilangnya keanekaragaman hayati akan memerlukan waktu puluhan juta tahun untuk "tumbuh kembali" melalui proses evolusi spesiasi.

Kepunahan ini tentu mengganggu stabilitas peradaban manusia, contohnya peningkatan prevalensi penyakit Lyme yang dibawa oleh tikus berkaki putih. Tikus ini biasanya bersaing dengan Merpati Penumpang untuk mengkonsumsi biji pohon ek.

Dengan hilangnya merpati dan berkurangnya predator seperti serigala dan puma, populasi tikus pun meningkat. Bersamaan dengan hal ini, kasus penyakit Lyme pada manusia pun meningkat.

Selain itu, punahnya suatu genus dapat memperburuk krisis iklim yang menjadikan perubahan iklim semakin parah.

"Gangguan iklim mempercepat kepunahan, dan kepunahan berinteraksi dengan iklim, karena sifat tumbuhan, hewan, dan mikroba di planet ini adalah salah satu penentu besar iklim yang kita miliki," terang Ehrlich.

Perlu Upaya Konservasi yang Serius

Untuk mencegah kepunahan lebih lanjut dan krisis sosial yang diakibatkannya, Ceballos dan Ehrlich menyerukan tindakan politik, ekonomi, dan sosial yang perlu segera dilakukan.

Peningkatan upaya konservasi harus memprioritaskan wilayah tropis, karena wilayah tropis memiliki konsentrasi kepunahan genus tertinggi, dengan hanya satu spesies yang tersisa.

Para peneliti tersebut juga menyatakan perlunya peningkatan kesadaran masyarakat mengenai krisis kepunahan, terlebih dampak kepunahan fauna pada perubahan iklim.

Selain itu, pertumbuhan populasi, peningkatan skala konsumsi, dan fakta konsumsi manusia yang tak berimbang menjadi bagian utama dari permasalahan ini.




(faz/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads