Dampak membiarkan anak menjadi pekerja tidak cuma akan dialami oleh anak tersebut saja. Pekerja anak akan membentuk SDM berkualitas rendah dan lingkaran kemiskinan, kemudian juga berdampak pada negara.
Seperti dikatakan oleh guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Prof Nunung Nurwati bahwa adanya pekerja anak akan menyebabkan permasalahan yang luas dan kompleks.
"Bagi anak itu sudah jelas akan mengganggu tumbuh kembang dan kehilangan hak-haknya dan mereka akan menjadi SDM yang kualitasnya rendah," kata Prof Nunung melalui Satu Jam Berbincang Ilmu (Sajabi) "Pekerja Anak: Pengingkaran Terhadap Hak Anak" secara daring (2/9/2023), dikutip dari kanal media Unpad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nunung memaparkan, ketika sejak usia dini seorang anak tidak sekolah, maka upahnya akan rendah. Saat dewasa, kemungkinan besar akan menjadi tenaga kerja tidak berkualitas, profesinya serabutan, dan terus mempunyai upah yang rendah.
Apabila dibiarkan, kondisi ini berpotensi berulang saat mereka berkeluarga. Anak-anak tersebut kelak akan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kembali berpotensi menjadi keluarga miskin dan mendorong anak-anaknya bekerja.
"Nah, itulah yang disebut dengan lingkaran kemiskinan," tegas Prof Nunung.
Sumber daya manusia berkualitas rendah itu menurutnya kemudian akan menimbulkan masalah untuk masyarakat luas hingga negara, sehingga tak dapat bersaing di pasar global. Namun, penyelesaian atas situasi tersebut menurut Prof Nunung bukanlah serta merta menarik anak dari pasar kerja. Sebab, menurutnya letak permasalahan bukan pada anak-anak tersebut, tetapi di lingkungan terdekatnya terutama keluarga.
Solusi Multidisiplin Pekerja Anak
Prof Nunung mengatakan bahwa keluarga semestinya dapat memenuhi hak-hak anak, utamanya untuk sekolah dan bermain. Dia menekankan, pendekatan untuk mengatasi pekerja anak tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan holistik.
"Tidak hanya pendekatan ekonomi saja atau legal formal saja, misalnya dengan peraturan, dengan kebijakan, atau dengan program-program pemberdayaan saja itu menurut saya tidak akan menyelesaikan akar masalahnya," jelas Prof Nunung.
Dia menuturkan, intervensi yang dilakukan harusnya secara multidisiplin ilmu. Maka dari itu Prof Nunung menawarkan suatu konseptualisasi intervensi pekerja anak dilihat dari the strengths perspective dan person-in-environment perspective.
Prof memaparkan, lingkungan anak haruslah kondusif agar mereka dapat mengaktualisasikan dirinya. Namun, hal ini tak dapat dilakukan satu pihak saja, tetapi berbagai institusi baik formal maupun nonformal.
Di sisi lain, ketahanan keluarga juga merupakan aspek fundamental untuk diperhatikan, dengan menggali potensi kekuatan yang ada di setiap individu atau keluarga. Melalui ketahanan keluarga, maka anak diharapkan bisa bebas dari keharusan bekerja.
"Kita juga harus memperhatikan norma budaya yang melingkupi semua dari timbulnya pekerja anak, karena budaya atau kebiasaan juga mempengaruhi anak bekerja," imbuh Prof Nunung.
(nah/nwk)