Pernikahan paksa biasanya terjadi karena alasan ekonomi, sosial, hingga budaya tertentu yang dipercaya. Tapi, pernahkah kamu mendengar pernikahan paksa yang terjadi karena cuaca ekstrem?
Sebuah studi menemukan bahwa peristiwa cuaca ekstrem ternyata memiliki dampak panjang yang membuat pernikahan paksa bisa terjadi. Hal ini bukan berarti cuaca ekstrem berdampak langsung terhadap pernikahan paksa.
Tetapi, cuaca ekstrem bisa memperburuk beberapa masalah yang mengarah pada pernikahan paksa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bencana-bencana ini memperburuk masalah ketidaksetaraan gender dan kemiskinan yang menyebabkan banyak keluarga melakukan pernikahan anak sebagai mekanisme penanggulangannya," kata Fiona Doherty, penulis utama studi dan kandidat doktor dalam bidang pekerjaan sosial di Ohio State University, dikutip dari ZME Science.
Pernikahan Paksa Anak Lazim Terjadi di Beberapa Negara
Sebelumnya, Doherty telah melakukan tinjauan terhadap 20 studi ini tahun 1990 dan 2022. Semua studi ini dilakukan karena ia sangat menyayangkan masih adanya pernikahan paksa atau perjodohan di berbagai bagian dunia terutama negara miskin.
Misalnya, pada tahun 2006 terdapat 11% anak di bawah 15 tahun dan 36% anak di bawah 18 tahun terlibat pernikahan paksa.
Di Afrika terdapat lebih dari 50% dan India hampir setengah dari 1,4 miliar penduduknya mengalami pernikahan paksa. Sehingga diperkirakan 1 dari 5 anak perempuan di dunia menikah sebelum usia 18 tahun.
Masalah Ekonomi
Doherty melakukan studi dengan cara mengambil data berdasarkan keadaan negara berpenghasilan rendah dan menengah, seperti Bangladesh, India, Pakistan, Kenya, Nepal, dan Vietnam.
Di wilayah tersebut, sering dilanda bencana seperti kekeringan dan banjir. Tetapi penelitian juga melihat dari bencana lain yakni angin topan, kenaikan suhu, dan lainnya.
Dalam berbagai konteks yang berbeda, hal yang menonjol adalah pernikahan paksa menjadi lebih umum ketika bencana menyebabkan ketidakamanan ekonomi.
"Pernikahan anak sering kali dilihat sebagai strategi penanggulangan untuk mengurangi kerentanan ekonomi dan kerawanan pangan yang dihadapi sebuah keluarga akibat bencana," jelas Doherty.
Bagaimana Kenaikan Suhu Memengaruhi Pernikahan Paksa Anak?
Studi menunjukkan keadaan Bangladesh ketika dilanda gelombang panas selama 30 hari, di mana saat itu terdapat 50% anak di bawah 15 tahun dinikahkan. Begitu pula terjadi di Kenya karena bencana kekeringan, menurut studi lain.
Pengantin muda lebih dicari karena mereka dapat membantu memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang meningkat, seperti berjalan jauh untuk mencari makanan dan air.
Di negara-negara yang membayar pengantin perempuan, kemungkinan anak perempuan juga dipaksa menikah meningkat selama musim kemarau dan curah hujan tinggi.
Namun, di wilayah seperti India yang mewajibkan mahar (keluarga mempelai wanita membayar keluarga mempelai laki-laki), kecil kemungkinan anak perempuan untuk menikah pada musim kemarau, mungkin karena keluarga mempelai wanita tidak mampu membayar.
"Kompleksitas seputar pernikahan anak dan cuaca ekstrem akan memburuk di tengah perubahan iklim," kata Smitha Rao, asisten profesor pekerjaan sosial di Ohio State University.
Banyaknya Kekerasan Seksual
Selain banyak faktor yang mengarah ke terpuruknya ekonomi, pernikahan paksa pada anak juga dipengaruhi oleh banyaknya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan pengungsian bencana.
"Keluarga kadang-kadang membuat pilihan untuk menikahkan anak perempuan mereka dalam situasi seperti ini untuk melindungi mereka dari pelecehan dan kekerasan seksual," kata Rao.
Pendidikan Jadi 'Obat' untuk Pernikahan Paksa Anak
Menurut para peneliti, faktor pendidikan bisa menjadi satu-satunya hal untuk melawan pernikah paksa anak di banyak daerah. Hal ini diperkuat dengan data, bahwa anak perempuan yang lebih berpendidikan cenderung tidak dipaksa menikah.
Begitu pula bagi para orang tua, semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin kecil kemungkinan mereka menikahkan anak perempuannya.
"Kami menemukan penyebab utama pernikahan anak adalah ketidaksetaraan gender," kata Doherty.
"Kita perlu menemukan cara untuk memberdayakan perempuan dan anak perempuan dengan pendidikan dan kendali keuangan yang memungkinkan mereka mengambil keputusan sendiri," imbuhnya.
Sementara itu, temuan lainnya adalah bahwa bencana lingkungan yang menonjolkan pernikahan paksa kemungkinan besar akan menjadi lebih umum seiring dengan perubahan iklim.
Meski begitu, peneliti mengatakan kita semua punya senjata untuk melawannya. Langkah pertama dan paling langsung adalah dengan melarang pernikahan paksa (yang mana hal ini belum dilarang).
Kedua adalah memberikan dukungan kepada keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, dan menghalangi mereka untuk menikahkan anak perempuan mereka.
"Kami memerlukan lebih banyak penelitian untuk memahami perbedaan dan faktor tambahan yang mungkin mempengaruhi hubungan antara peristiwa cuaca ekstrem dan pernikahan anak di belahan dunia lain, termasuk negara-negara berpenghasilan tinggi," tutur Rao.
(faz/faz)