Penyebab Kabut Polusi & Solusinya dari Sudut Pandang Pakar ITS

ADVERTISEMENT

Penyebab Kabut Polusi & Solusinya dari Sudut Pandang Pakar ITS

Novia Aisyah - detikEdu
Rabu, 06 Sep 2023 07:30 WIB
Suasana gedung-gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Kamis (27/7/2023).
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Polusi udara Jakarta menjadi sorotan dalam beberapa waktu belakangan. Tak cuma itu, penampakan kabut polusi juga menjadi perhatian.

Ada penjelasan mengenai terciptanya kabut polutan tersebut. Seperti dikatakan oleh Dosen Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Arry Febrianto, fenomena berulang kabut polusi terjadi akibat emisi polutan yang dilepaskan melebihi kapasitas lingkungan.

Akibat dari hal itu, lingkungan tidak dapat memulihkan diri secara alami.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Polutan tersebut kemudian mengalami reaksi perubahan dengan cahaya Matahari di atmosfer lalu membentuk kabut pekat seperti yang terlihat di langit Jakarta akhir-akhir ini," jelas laki-laki yang akrab disapa Febri ini, dikutip dari rilis dalam situs web resmi ITS pada Selasa (5/9/2023).

Merujuk data Vital Strategies, rata-rata tahunan konsentrasi polutan PM2,5 di Jakarta lebih tinggi empat hingga lima kali daripada standar kualitas udara WHO. Menurut Febri, angka tersebut memperlihatkan tingginya tingkat konsentrasi pencemar di Jakarta. Sayangnya, kondisi ini menimbulkan risiko kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru-paru obstruktif kronis, kanker paru-paru, sampai kematian dini.

ADVERTISEMENT

Penyemprotan Jalanan hingga Kendaraan Listrik

Terkait beberapa solusi yang dilakukan untuk mengatasi polusi di DKI Jakarta, Febri menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu disorot, salah satunya penyemprotan air ke jalanan dan gedung tinggi.

Kata Febri, meski dinilai tidak berpengaruh bagi masyarakat, tindakan tersebut justru baik lantaran mampu meredam polutan yang berasal dari debu jalan. Dia menyebut polutan jalan kota di Jakarta berkontribusi sekitar 1-6 persen polusi di musim hujan dan 9 persen di musim kemarau.

Selain itu, menurut Febri, signifikansi pengaruh kebijakan WFH perlu dihitung untuk mengetahui seberapa besar dampaknya. Penghitungannya melibatkan data empiris mengenai jumlah, jenis, dan proporsi penggunaan kendaraan ASN pemerintah DKI Jakarta terhadap total kendaraan di sana.

Febri menambahkan, pengadaan kendaraan listrik bisa saja menjadi solusi dalam mengurangi emisi di jalanan. Walau begitu, pemakaian batu bara yang menghasilkan emisi tinggi sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik tidak bisa lantas dikesampingkan.

"Perlu ditinjau kembali aturan dan kebijakannya agar tidak hanya sekadar memindahkan polusi dari jalanan ke pembangkit listrik," ungkapnya.

Dia pun mengimbau supaya masyarakat lebih bijaksana dalam pemakaian energi. Memilah dan mengolah sampah, penggunaan transportasi publik, dan penghijauan harus terus dilakukan.

"Masyarakat juga dapat membantu meminimalisasi jejak karbon dari distribusi produk dengan meningkatkan penggunaan produk lokal," ujarnya.

Di samping itu, menurutnya pemerintah seharusnya meningkatkan strategi pengendalian kualitas udara, baik itu yang berasal dari sumber bergerak ataupun tidak bergerak. Program pemantauan emisi real time yang berkelanjutan bisa dibuat lebih praktis dengan digitalisasi, jelas Febri.

Menurutnya peningkatan standar baku mutu dan regulasi, serta penegakan hukum dan peningkatan transisi energi ke energi baru terbarukan juga dibutuhkan.

Febri menegaskan, polusi udara tidak hanya di luar ruangan, tetapi juga di dalam ruangan. Dia mengatakan, penting agar masyarakat memahami sumber pencemar di sekitar dan cara meminimalisirnya.

Ia menyebut sinergi masyarakat dan pemerintah dalam memperbaiki kualitas lingkungan dibutuhkan untuk menaikkan kualitas lingkungan yang bersangkutan.




(nah/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads