Pemegang gelar PhD merupakan modal SDM yang esensial dalam melakukan inovasi perekonomian. Hal tersebut terlihat dari hampir 60% mahasiswa penyandang gelar PhD di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) bekerja di luar ranah akademik atau perguruan tinggi.
Mereka memberikan kontribusi pengetahuan secara komersial kepada masyarakat melalui pemberian paten. Oleh karena itu, para penemu-penemu baru ini berperan kritis atas perkembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, temuan baru melihat adanya kesenjangan gender pada kesempatan dalam menjadi penemu baru.
Hasil penelitian MIT Sloan School of Management dan Copenhagen Business School menemukan beberapa kombinasi faktor mengapa mahasiswa S3 perempuan dalam kariernya menuju penemu baru memiliki kemungkinan lebih rendah dipasangkan dengan mentor terbaik dibandingkan mahasiswa laki-laki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini termasuk lebih sedikitnya peluang serta kemungkinan mereka untuk dilatih oleh pembimbing fakultas terbaik. Dalam artikel yang berjudul Faculty as Catalysts for Training New Inventors: Differential outcomes for Male and Female PhD Students ditemukan bahwa para pembimbing PhD memiliki peran penting dalam melatih para penemu baru. Pembimbing fakultas terbaik berperan sebagai katalis guna mendorong para mahasiswanya menjadi penemu baru melalui co-paten.
Dilansir dari situs EurekAlert, sebanyak 4% dari mahasiswa PhD di 25 universitas teratas menjadi penemu baru. Akan tetapi ketika dibimbing oleh dosen fakultas terbaik, probabilitas mereka untuk mengajukan paten pertama meningkat menjadi 23%.
Penelitian ini digagas oleh Prof. Fiona Murray, Dekan Bidang Inovasi dan Inklusi MIT Sloan bersama dengan Prof. Mercedes Delgado dari Bidang Strategi dan Inovasi di Copenhagen Business School.
Mereka menyatakan bahwa penelitian ini berfokus pada mahasiswa PhD yang memulai karir mereka sebagai penemu sejak dini dan pengajuan paten pertamanya selama masa pelatihan atau studi doktoral.
Menurut Prof. Mercedes Delgado tingkat perempuan yang menggagas penemuan baru lebih rendah 9% daripada tingkat perempuan yang lulus dan mendang gelar PhD. Untuk lebih memahami kesenjangan ini, para peneliti berfokus pada peran pembimbing fakultas, terutama pembimbing mahasiswa PhD yang akan melakukan pemberian paten.
Dari sampel temuan mereka, kesempatan menjadi wakil penemu atau penulis dua dalam karya yang dihasilkan dari laboratorium, merupakan kunci bagi mahasiswa untuk belajar bagaimana mengajukan paten dan menjadi penemu baru.
Pembimbing fakultas yang merupakan penemu terbaik berkontribusi dalam 44% keberhasilan penelitian yang dilakukan oleh penemu baru. Probabilitas keberhasilan menerbitkan paten pertama oleh mahasiswa perempuan menjadi buruk ketika mereka mendapatkan pembimbing yang bukan dari penemu terbaik.
"Sederhananya perempuan yang bergelar PhD memiliki kemungkinan 21% lebih rendah untuk dipasangkan dengan pembimbing yang merupakan penemu terbaik dibandingkan laki-laki yang bergelar PhD untuk menjadi penemu baru," kata Murray.
Para peneliti dalam makalah mereka menggambarkan sejumlah faktor yang mungkin mempengaruhi perbedaan ini, yang terbagi menjadi faktor penerima "demand-side" dan faktor pemasok "supply-side".
Dari sisi faktor pemasok meliputi adanya perbedaan preferensi pemberian paten antara mahasiswa perempuan dan laki-laki, penilaian diri terhadap keterampilan, hingga akses terhadap sumber daya.
Sedangkan pada sisi faktor penerima, ditemukan konsisten apresiasi keterampilan inovasi dan kontribusi perempuan yang lebih sedikit dihargai oleh para pembimbingnya.
Proyek penelitian yang didanai oleh National Science Foundation ini, belum menguji efektivitas intervensi peningkatan jumlah penemu baru dari mahasiswa PhD perempuan pada masa awal pelatihan.
Seperti pemahaman tentang proses pemilihan pembimbing yang merupakan penemu top, pemberian dorongan kepada mahasiswa perempuan untuk terlibat dalam tingkat tinggi pemberian paten, atau bahkan peningkatan jumlah pembimbing perempuan terbaik untuk mahasiswa doktoral di masa mendatang.
(pal/pal)