Apa Itu Vote Buying di Pemilu? Begini Praktik Curangnya

ADVERTISEMENT

Apa Itu Vote Buying di Pemilu? Begini Praktik Curangnya

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 01 Sep 2023 20:30 WIB
Ilustrasi Pemilu
Apa itu vote buying, beli suara dan jual suara di pemilu? Yuk, kenali praktik pelanggaran hukum ini dan dampaknya buat kita. Foto: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -

Universitas Airlangga (Unair) baru-baru ini menandatangani deklarasi tolak politik uang dalam menyambut pesta demokrasi 2024. Direktur Kemahasiswaan Unair Prof Dr M Hadi Subhan SH MH CN mengatakan, tahun politik 2024 harus melahirkan pemimpin bangsa yang baik, menolak politik uang. Diharapkan, deklarasi kampus ini mendorong pemilu 2024 yang bersih dan jujur.

DI sisi lain, Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair Ucu Martanto SIP MBA menyoroti masih munculnya politik uang dan praktik vote buying di pemilu 2024. Ia menegaskan, hukum melarang calon kandidat memberikan uang kepada para pemilih demi mendapatkan suara di pemilu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya rasa praktik vote buying tetap ada dalam pemilu 2024, meskipun ada upaya untuk mengubahnya. Salah satu faktor penentu adalah sistem pemilihan dan intervensi pemerintah dalam mencegah kecurangan," kata Dosen Politik Anti Korupsi Unair ini di laman resmi kampus, dikutip Jumat (1/9/2023).

"Penyelenggara pemilu perlu lebih tegas dalam memberikan sanksi, dan perlu gerakan penyadaran masyarakat tentang bahaya politik uang. Akuntabilitas dana partai serta pemeriksaan kekayaan pemimpin dan partai pengusung juga menjadi langkah penting," tegasnya.

ADVERTISEMENT

Apa itu vote buying, praktiknya, dan faktor yang memengaruhi keterjadiannya? Baca lebih jauh di bawah ini, ya.

Vote Buying di Pemilu

Vote buying alias beli suara adalah tawaran uang, barang, atau jasa oleh kandidat pemilu, partai, maupun timnya dengan suara pemilih sebagai gantinya, seperti dikutip dari Vote Buying: International IDEA Electoral Processes Primer 2 oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) 2022.

Barang-barang yang diberikan di vote buying bermacam-macam. Selain uang tunai dan digital, terkadang juga ada beras, gula, bensin, hingga ongkos atau bantuan ke tempat pemilihan umum. Apapun bentuknya, praktik ini berusaha membeli suara pemilih dengan aksinya. Sebab, vote buying merupakan pelanggaran kampanye pemilu yang berupaya menggoyahkan integritas pemilu dan merugikan tata kelola pemerintahan demokratis.

Laporan ini menyatakan, sepertiga pemilik hak pilih di Indonesia, Bulgaria, Kenya, dan Filipina mengaku ditawari imbalan uang, makanan, dan barang-barang lainnya saat kampanye pemilu dengan suara sebagai gantinya. Keterjadian aslinya diduga jauh lebih tinggi dari hasil penelitian ini. Sebab, pengakuan atas tindak menyalahi hukum ini bertentangan dengan moral pribadi manusia pada umumnya.

Vote buying atau beli suara lazim dilakukan satu malam sebelum atau di pagi hari sebelum pemilu berlangsung. Namun, vote buying juga bisa terjadi di sepanjang masa pemilu hingga setelah pemilu dengan bentuk janji imbalan.

Vote Buying Pakai Giveaway dan Dompet Digital

Ucu Martato mengatakan, kampanye politik juga merambah ke ranah digital, termasuk praktik vote buying-nya. Untuk itu lembaga pengawas dan Gen Z menurutnya juga perlu mengawasi karena hukum melarang calon kandidat memberikan uang kepada para pemilih demi mendapatkan suara.

"Kampanye saat ini memasuki ranah digital, seperti giveaway. Meskipun terdapat larangan memberikan imbalan uang kepada calon pemilih, peran Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu), serta generasi Z dalam mengawasi trik kampanye digital menjadi faktor penentu keberhasilan dalam memitigasi dampak," ungkapnya.

Kelompok yang Rentan Kena Vote Buying

Kesediaan pemilih untuk menjual suaranya di praktik umumnya berisiko muncul di kelompok masyarakat yang paling rentan, yakni di lingkungan pemilih yang lebih miskin dan marjinal. Kesenjangan sosial ini menjadi celah aktor politik untuk melakukan vote buying, seperti dikutip dari laporan International IDEA.

Sayangnya, politisi pelaku vote buying lazimnya tidak menyuarakan hak-hak kelompok miskin dan marjinal setelah duduk di bangku jabatannya. Vote buying justru diperkirakan memengaruhi kemiskinan terus berlangsung, melanggengkan kekuasaan politisi korup di jabatannya, sehingga memperburuk kesejahteraan sosial.

Di sisi lain, kelompok dengan tingkat ekonomi lebih tinggi tidak berarti tidak luput dari vote buying. Sogokannya bermacam-macam, mulai dari pembangunan atau perbaikan infrastruktur, pemberian layanan yang penting atau mendasar, dan barang maupun jasa publik lainnya.

Dampak Vote Buying

1. Risiko Kekerasan Pemilu

Vote buying dapat terjadi di pedesaan maupun perkotaan, kendati lebih banyak muncul di lingkup kelompok yang lebih kecil. Praktiknya dapat melibatkan kandidat pemilihan secara langsung hingga pihak-pihak administratif.

Aksi vote buying dapat sangat terstruktur dan menyebar luas dengan dukungan korupsi dan kejahatan terstruktur. Akibatnya, vote buying juga dapat diiringi oleh bujukan hingga paksaan, sehingga pemilih berisiko mengalami kekerasan dalam pemilu.

2. Ongkos Kampanye Pemilu Bengkak

Praktik vote buying membuat ongkos kampanye pemilu bengkak. Akibatnya, calon kandidat yang tidak punya dana cukup berisiko tidak dapat masuk ke arena pemilu.

3. Rakyat Tidak Percaya Politisi

Ketidakpercayaan rakyat pada politisi juga bertambah buruk akibat vote buying. Praktik ini juga membatasi kesempatan rakyat untuk memprotes dan menyelidiki praktik korupsi dengan aman dan transparan.

Makin lama berlangsung, praktik vote buying juga membuat pelanggaran ini seolah sah terjadi. Sebab, politisi pelaku vote buying yang terpilih di sebuah pemilu cenderung akan mengulang praktik senada di pemilu selanjutnya.

4. Fokus ke Balik Modal Setelah Terpilih

Ucu Martanto mengingatkan, politik uang mencederai demokrasi dan representasi karena para politisi jadi sibuk mengembalikan modal kampanye setelah terpilih.

"Pemimpin terpilih melalui politik uang mungkin lebih fokus pada pengembalian modal, yang bisa berdampak pada kebijakan yang mendukung mereka," jelasnya.

Menurut Ucu, formulasi sistem pemilu yang demokratis tanpa peluang kecurangan perlu diterapkan. Sinergi Pemerintah, warga sipil, dan partai juga perlu menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan menjaga proses pemilu yang adil dan transparan.

"Transparansi dalam perekrutan partai politik dan pendidikan politik yang komprehensif juga harus diperhatikan untuk menjaga integritas pemilu," katanya.

"Kita harus mengubah pandangan bahwa politik uang adalah hal yang biasa. Bersama-sama, kita dapat menjaga integritas pemilu dan keberlangsungan demokrasi," pungkasnya.




(twu/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads