El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya dan La Nina adalah fenomena yang berkebalikan dengan El Nino. Akhir-akhir ini, fenomena El Nino dan La Nina berlangsung lama di sebagaian wilayah, salah satunya di Australia.
Dikutip dari laman resmi BMKG, fenomena El Nino bisa meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Hal ini memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
Sementara ketika La Nina terjadi, Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya. Pendinginan SML ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena El Nino & La Nina yang Berkepanjangan Bisa Picu Risiko Bencana
Fenomena El Nino dan La Nina yang berkepanjangan dialami oleh Australia. Dr Georgy Falster dari Universitas Nasional Australia (ANU) mengatakan kondisi ini dapat terjadi karena adanya perubahan sirkulasi Walker di Pasifik yakni pergeseran pola atmosfer di atas Samudera Pasifik.
"Sirkulasi atmosfer di atas Samudera Pasifik telah berubah. Ini berarti di masa depan kita bisa melihat peristiwa La NiΓ±a atau El NiΓ±o yang lebih panjang karena aliran atmosfer di atas Samudera Pasifik beralih lebih lambat antara fase La Nina dan El Nino," ucapnya dikutip dari laman resmi ANU.
Dr Falster yang juga meneliti fenomena ini di Universitas Washington, St. Louis, juga mengatakan fenomena El Nino dan La Nina yang berkepanjangan dapat memperburuk kekeringan, kebakaran, hujan, dan banjir.
Di sisi lain, tim peneliti Internasional dari Universitas Hawai jugatelah menemukan bahwa letusan gunung berapi juga menjadi salah satu penyebab sirkulasi Walker melemah.
"Pasifik tropis mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap iklim global. Memahami bagaimana Pacific Walker Circulation dipengaruhi oleh perubahan iklim akan memungkinkan masyarakat di seluruh Pasifik dan sekitarnya untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang mungkin mereka hadapi dalam beberapa dekade mendatang," kata rekan penulis studi, Sloan Coats, dari Universitas Hawai.
Akibat Efek Rumah Kaca
Para peneliti menggunakan data pada riset untuk membandingkan Sirkulasi Pacific Walker sebelum dan sesudah peningkatan gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.
Hal ini membantu para ilmuwan memberikan gambaran tentang bagaimana Sirkulasi Pacific Walker telah berubah seiring waktu.
"Samudra Pasifik adalah salah satu aspek terpenting dalam iklim dan cuaca global, terutama karena ukurannya," kata Dr Falster, yang juga merupakan Peneliti di Pusat Keunggulan ARC untuk Iklim Ekstrem.
Menurutnya, apa yang terjadi di lautan luas mempunyai dampak luas di seluruh dunia. Jika sirkulasi atmosfer di Samudera Pasifik berubah, hal ini akan berdampak besar pada cuaca yang kita alami di seluruh planet ini.
"Apa yang terjadi di wilayah tropis Pasifik tidak hanya terjadi di wilayah tropis Pasifik saja - hal ini juga berdampak pada wilayah yang luas. Sirkulasi Pacific Walker adalah pendorong utama variabilitas curah hujan global," kata Bronwen Konecky, dari Washington University di St. Louis.
Para peneliti mengatakan manusia berdampak pada sistem iklim seperti Pacific Walker Circulation, namun tidak dengan cara yang mereka harapkan.
"Kami ingin mengetahui apakah gas rumah kaca telah mempengaruhi Sirkulasi Pacific Walker. Kami menemukan bahwa kekuatan keseluruhannya belum berubah, namun perilakunya dari tahun ke tahun berbeda," kata Dr Falster.
(faz/faz)