Sekitar satu abad sebelum kerajaan Inka berkuasa pada tahun 1400 Masehi, ada sebuah ledakan gemuruh di punggung bukit Pegunungan Andes. Gemuruh ini merupakan buatan manusia yang disengaja dengan cara menghentakkan kaki mereka secara ritmis di suatu lantai dansa khusus.
Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di area tersebut sekitar 700 tahun lalu membuat hentakan dentuman yang menggelegar. Hentakan ini diduga mereka lakukan ketika menyembah sang Dewa Petir.
Dibuat dari Tanah hingga Pupuk Kandang
Penemuan ini terungkap berdasarkan penggalian yang dilakukan di dataran tinggi Peru, yaitu Viejo Sangayaico. Menurut Kevin Lane, arkeolog dari Universitas Buenos Aires komunitas petani dan penggembala lokal bernama Chocorvos yang membuat permukaan tanah tersebut bergema.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gema suara tersebut berasal dari lapisan tanah, abu dan, guano (pupuk yang berasal dari kotoran llama dan alpaka) yang berbeda-beda sehingga menyerap guncangan dari orang yang menginjaknya dan memunculkan suara beresonansi. Lantai tanah ini merupakan permukaan untuk melakukan seremonial.
Dilansir dari laporan Lane dalam Journal of Anthropological Archaeology yang diakses melalui laman ScienceDirect, dinyatakan bahwa permukaan lantai tersebut mampu menghasilkan suara seperti drum akustik dan dapat dimainkan 20 hingga 25 orang.
Tim Lane pertama kali memperhatikan permukaan lantai tersebut pada 2014 ditemukan dalam keadaan terbuka. Permukaan tanah yang terletak di area ritual masyarakat pra-Inka yang menghadap ke puncak gunung sebelahnya terdengar hampa tidak menghasilkan suara apapun ketika orang-orang berjalan di atasnya.
Namun, ketika penggalian selanjutnya ditemukan 6 jenis endapan sedimen yang terdiri dari berbagai campuran lempung, pasir, abu dan guano yang membentuk rongga kecil. Kemudian, tim menguji permukaan lantai tersebut melalui getaran yang dihasilkan dari menginjakkan kaki mereka.
Mereka juga mengukur tingkat kebisingan yang dihasilkan ketika orang-orang menari melintasi permukaan galian. Hasilnya, intensitas suara yang dihasilkan berkisar 60 hingga 80 desibel. Intensitas tersebut setara dengan suara dari percakapan keras dan bising yang dilakukan di restoran atau tempat publik.
Sehingga, ketika jaman dulu permukaan ini digunakan oleh kelompok penari Chocorvos, suara yang ditimbulkan jauh lebih besar karena ritual mereka berkemungkinan besar menggunakan iringan nyanyian dan alat musik tambahan, seperti disebutkan dalam ScienceNews.
Kepercayaan Terhadap Dewa-dewa Alam
Dokumen sejarah Spanyol menggambarkan kelompok masyarakat Chocorvos memiliki kepercayaan pada Dewa Petir, Guntur, Kilat, Gempa, dan Air. Keyakinan supernatural ini mengilhami mereka untuk mengadakan ritual berupa tarian hentakan yang bertujuan untuk meniru ledakan dari Dewa Petir.
Dugaan Lane, tarian hentakan masyarakat pra-Inka ini memengaruhi juga tarian yang dipraktikan oleh Chorcovos dan kelompok Andes lainnya pada pertengahan 1500-an, setelah penaklukan Spanyol atas suku Inka pada 1532. Sebelumnya, Chorcovos telah menjadi bagian dari Kekaisaran Inka sebagai gerakan perlawanan terhadap budaya Spanyol yang disebut Taki Onqoy.
Seorang arkeolog antropologi lain dari Universitas George Washington, Kylie Quave, menyatakan apabila ditemukan permukaan perkusi lain dengan artefak yang berkaitan dengan ritual air dan petir akan mendukung argumentasi penelitian Lane. Untuk itu, para peneliti kini menggali permukaan di lokasi lain untuk memeriksa lapisan guano dan elemen lain dari lantai perkusi yang digunakan sebagai acara seremonial penyembahan Dewa Petir.
Pernyataan mengenai temuan ini juga ditambahkan oleh Miriam Kolar, peneliti archaeoacoustics dari Universitas Stanford, permukaan tanah dari situs Viejo Sangayaico bisa saja ditemukan dengan mengidentifikasi sifat tanah yang mirip drum atau dirancang secara sengaja untuk digunakan tarian seremonial.
Hal itu dikarenakan temuan bukti pengubahan struktur tanah di situs Andean yang lebih tua dari Viejo Sangayaico. Situs yang berusia 3.000 tahun itu bernama Chavin de HuΓ‘ntar dapat menghasilkan berbagai macam suara, mulai dari nada yang hampir murni hingga raungan yang keras dengan cara menekankan pada lubang ventilasi.
Menurut masyarakat yang tinggal di area dekat Viejo Sangayaico, situs kuno lain di daerah tersebut memiliki permukaan serupa yang dapat bergema di bawah kaki. Namun, Lane dan rekan-rekannya belum mengunjungi situs tersebut. Hal ini karena menurutnya, temuan permukaan bergema ini menyesuaikan penggunaan indera pendengar yang telah menyesuaikan dengan bagian-bagian berbeda di situs tersebut, dan hal tersebut jarang dilakukan oleh seorang arkeolog.
(nah/nah)