Papan Tulis Kemerdekaan di Bandung
Jepang yang kalah di Perang Dunia II melakukan propaganda agar tidak ada berita soal itu yang tersiar ke warga Indonesia. Pelarangan berita ini berlaku bagi radio maupun surat kabar, antara lain Tjahaja, Soeara Merdeka, Perdjuangan Kita, dan lainnya, dikutip dari Bandung 1945-1946 ole Egi Azwul Fikri.
Di Bandung, pelarangan tersebut diumumkan Hideki Zenda untuk dengan isi, "Pengumuman, bahwa dilarang menyiarkan apa-apa yang dikutip dari surat kabar Tjahaja Bandung." Wartawan Tjahaja pun bingung karena berita kekalahan Jepang pada Sekutu tidak boleh diedarkan. Padahal, mereka sebelumnya gencar memberitakan revolusi dan propaganda.
Dua pemuda dari stasiun radio Hoshokyoku pada 16 Agustus 1945 bahkan sudah diutus meliput proklamasi kemerdekaan RI di 17 Agustus 1945. Sepulangnya dari Jakarta, mereka tidak bisa menyiarkan berita ini akibat stasiun radio di Bandung itu juga masih diduduki Jepang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beruntung, Kantor Berita Domei dapat memuat pemberitaan proklamasi dalam buletin. Sebab, mereka menerima kawat berisi teks proklamasi.
Para jurnalis Tjahaja pun segera menulis soal kemerdekaan Indonesia di papan tulis besar. Papan tulis itu diletakkan Bari Lukman di depan kantor mereka, seizin Moh Kurdi.
Alhasil, setiap orang yang lewat bisa melihat hingga mengerumuni papan tulis tersebut. Kabar kemerdekaan ini cepat tersebar ke penjuru Bandung, dari mulut ke mulut hingga pengajian-pengajian.
Percetakan & Mobil Pick-up Kemerdekaan
Percetakan Siliwangi pun tak ketinggalan. Di bawah pimpinan Ili Sasmita, percetakan ini membuat kertas selebaran pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pada 18 Agustus, Radio Republik Indonesia menyiarkan lagu Indonesia Raya. Kabar kemerdekaan disiarkan berminggu-minggu sehingga kalangan terpelajar maupun yang tidak kemudian bisa yakin dan bahwa proklamasi kemerdekaan RI bukanlah kemerdekaan semu yang diberikan Jepang.
Penjelasan makna kemerdekaan pun menjadi penting, seperti di Bandung, karena kondisi saat itu. Beberapa dekade sebelumnya, orang Belanda menguasai peran penting politik, China di bidang perdagangan, sedangkan pribumi ningrat menjadi tuan tanah, dan pribumi biasa di sana menjadi buruh. Akibatnya saat proklamasi, rakyat nonpolitisi nasionalis tidak serta-merta yakin bagaimana harus menyikapi kemerdekaan RI.
Beberapa pegawai RRI menggunakan mobil pick up untuk menjelaskan proklamasi. Mereka bergerak ke daerah-daerah sekitar Bandung, seperti di Dayeuhkolot, Lembang, Banjara, Cimahi, Padalarang, dan Banjaran dengan sebelumnya mengontak kepala daerah setempat.
Kabar dari Jakarta ke Aceh
Kabar kemerdekaan Indonesia dan kekalahan Jepang pada Sekutu coba disembunyikan oleh militer Jepang, salah satunya di Aceh. Pada 16 Agustus 1945, opsir bangsa Indonesia dari tentara sukarela Giyugun, tentara pembantu Heiho, dan Hikoyo Tokubetsu di sana dikumpulkan pihak Jepang, dikutip dari Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh oleh Muhammad Ibrahim dkk, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Mereka diberi kabar bahwa organisasi kemiliterannya dibubarkan, sedangkan mereka dikembalikan kampung halaman masing-masing. Namun, kabar tersebut sama sekali tidak menyinggung soal menyerahnya Jepang pada Sekutu.
Sejak 21 Agustus 1945, sejumlah pemuda Aceh dari kantor media Hodoka Kutaradja dan Atjeh Simbun mulai mengetahui kabar kemerdekaan RI. Namun, berita di Atjeh Simbun di Kutaraja disaring ketat oleh Jepang.
Dengan begitu, surat kabar itu tidak memuat berita-berita perubahan sikap Jepang pada penduduk, yang dinilai mulai melunak. Radio-radio Sekutu juga diawasi ketat agar tidak dapat didengar orang-orang di Indonesia.
Kabar kemerdekaan Indonesia mulai menyebar di Sumatera, termasuk Aceh, di akhir Agustus 1945. Kabar tersebut dibawa Mr TM Hasan dan Dr M Amir, yang kembali dari Jakarta ke Sumatera pada 24 Agustus 1945.
Keduanya dari Jakarta singgah ke Palembang, Bukittinggi, Tarutung, lalu Medan pada 29 Agustus 1945. Kedatangan mereka membuat kabar proklamasi kemerdekaan RI menyebar cepat di Sumatera.
Para pemuda Aceh pun menggalang persatuan untuk menyebarkan berita kemerdekaan RI. Mereka bergerak dengan membentuk organisasi, badan, dan kelaskaran.
Di samping itu, organisasi perjuangan bersenjata di Aceh seperti Gyu Gun sampai Heiho bersepakat membentuk Angkatan Pemuda Indonesia pada 27 Agustus 1945. API dan barisan kelaskaran kemudian bertugas mengambil alih persenjataan dari tangan Jepang untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan mengantisipasi kembalinya Belanda.
Berbagai siasat di atas memungkinkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di wilayah Indonesia dan luar negeri, kendati Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia sampai 27 Desember 1949. Penjajah ini beranggapan, Indonesia diserahkan pada Sekutu pada 1945, bukan dibebaskan oleh Jepang.
Namun, suara asli Soekarno saat membacakan teks naskah proklamasi pada 1951 terus dikumandangkan. Suara yang direkam di studio Radio Republik Indonesia (RRI) oleh prakarsa pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro itu hingga kini menjadi salah pengingat bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan RI.
Simak Video "Video: 17 Agustus 2025 Naik Transportasi Umum di Jakarta Cuma Bayar Rp 80"
[Gambas:Video 20detik]
(twu/nwk)