Pocong Jadi Superstar
Pada era Orde Baru yang otoriter di Indonesia, dominasi kekuasaan pemerintah mempengaruhi industri perfilman, tercermin dari ideologi negara dan ekonomi politik melalui regulasi, sensor, kontrol, dan kepemilikan.
Setelah 1998, jatuhnya Presiden Soeharto, terjadi pergeseran dalam perfilman Indonesia di mana peran penonton semakin signifikan sebagai konsumen. Penonton bukan lagi dianggap massa homogen yang dikendalikan negara. Mereka punya selera yang berbeda, preferensi fashion, dan keinginan untuk ekspresi identitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah masa itu berakhir, pergeseran dalam perfilman Indonesia terjadi termasuk dalam genre horor. Sosok pocong dalam film horor mulai bangkit pasca reformasi ditandai melalui film Pocong 2 oleh Rudi Soedjarwo pada tahun 2006.
"Pocong sudah berkali-kali dibangkitkan untuk gentayangan layar bioskop Indonesia," ujar Justito. Ia mencatat dari periode 2000-2020, 37 film horor Indonesia mewakili pocong sebagai hantu utama.
Ia menambahkan,"Angka ini sangat besar, apalagi jika dibandingkan dengan representasi pocong dalam film-film horor sebelum tahun 1998."
Kebangkitan pocong di industri film nasional sekaligus menjadikan sosok tersebut sebagai superstar hantu baru. Mengapa hal ini bisa terjadi? "Jawabannya, kelindan peningkatan spiritualitas baru, transmedia, storytelling, dan sharing transnational," ujar Justito menjelaskan.
Justito menjelaskan adanya peningkatan secara signifikan horor spiritual. Selain itu horor dengan genre lain seperti monster, slasher, horor psikologis semakin menipis terutama bila dibandingkan horor Indonesia tahun 1970-1980-an
"Spiritual turn juga membuat wacana film horor Indonesia pasca reformasi kemudian disesaki gagasan atas persimpangan dunia fisik dan spiritual, yang tujuannya biasanya untuk menyampaikan gagasan bahwa dunia spiritual memiliki sesuatu yang penting untuk diceritakan dan diwariskan," tulis Justito.
Sejauh ini, menurut Justito wacana paling populer dalam horor spiritual adalah variasi konsep Freudian, yaitu 'kembalinya yang tertindas (direpresi)'.
Di mana salah satu penggambaran paling umum adalah, sosok yang dibunuh secara tidak adil melakukan kontak dengan yang hidup untuk balas dendam. Sundel bolong, kuntilanak dan varian-varian modifikasi dan transfigurasi seperti suster ngesot, maupun pocong itu sendiri bersandar pada jangkar yang sama.
"Tapi, pocong sebagai penanda agak berbeda. karena ia melibatkan wacana transnasional," tulis Justito.
Selain itu, peran media cetak pun punya peran penting dalam hal ini majalah Hidayah. Menurut Justito, majalah yang terbit pertama kali di Malaysia itu memberikan bombardir visualitas atas pocong.
"Ada pocong berdarah, pocong kelelep air, pocong dirantai, pocong jatuh dari keranda, dan lain-lain," ujarnya.
Menurut, Justito majalah Hidayah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap tertanamnya kengerian atas mistisisme Islam di benak pembaca yang dimulai sejak periode awal tahun 2001.
"Hidayah menyodorkan kengerian religi, bahkan sebelum kita sempat membuka halaman per-halaman dari majalah tersebut," katanya.
Hidayah menjadi media pertama dan yang paling konsisten pasca reformasi dalam merelasikan pocong dan kengerian sekaligus mengarusutamakannya pada publik Indonesia.
"Hal yang kemudian dapat dimengerti bila pocong dan kengerian yang telah mengemuka di media cetak kemudian merembes ke media televisi melalui sinetron Jadi Pocong pada 2002-2023," jelasnya.
Adapun Hidayah sendiri kemudian diadaptasi dalam format sinetron yang ditayangkan pada 2005-2007.
"Bombardir visualitas di media cetak dan televisi berkesinambungan dan bertegangan dalam membangun semesta imajinasi audiens tentang pocong pada awal 2000-an, hal yang menjadi formasi diskursif dari keberadaan film Pocong 2, film pocong-pocong lain dan bahkan Mumun pada 2022," tulis Justito.
Simak Video "Video KETIK: Dinda Kanyadewi-Yunita Siregar Bahas Fenomena Santet-Jadi Cegil BTS"
[Gambas:Video 20detik]
(pal/pal)