Profesor IPB: Kematian Satwa Liar di Tangan Selebritas Permalukan Indonesia

ADVERTISEMENT

Profesor IPB: Kematian Satwa Liar di Tangan Selebritas Permalukan Indonesia

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 03 Agu 2023 13:30 WIB
Prof Ronny Rachman Noor
Pakar Genetika Ekologi IPB University Prof Ronny Rachman Noor sebut kematian satwa liar di tangan selebritas dan orang awam mencoreng nama Indonesia. Foto: Dok IPB University
Jakarta -

Pengakuan salah satu selebritas memelihara satwa liar yang dilindungi belakangan muncul ke media. Ia mengaku enam anak satwa yang dilindungi tersebut mati dengan berbagai alasan, termasuk dehidrasi.

Harimau Benggala, jenis satwa liar yang mati tersebut, bukan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia. Namun dijelaskan IPB University, harimau Benggala masuk kategori hewan terancam punah berdasarkan lembaga konservasi dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Prof Ronny Rachman Noor, Pakar Genetika Ekologi IPB University menyatakan, kematian satwa liar dilindungi di tangan orang awam tersebut mempermalukan nama Indonesia di mata dunia di bidang penanganan dan konservasi satwa liar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kasus satwa liar yang dipelihara perorangan dan mengalami kematian ini sudah seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga, karena sudah mencoreng nama Indonesia di dunia internasional," ujar Ronny dalam keterangan resmi kampus, dikutip Kamis (3/8/2023).

Ia menegaskan, satwa liar yang dilindungi bukanlah barang mainan ataupun hewan peliharaan.

ADVERTISEMENT

"Artinya, tidak boleh seenaknya dipelihara oleh orang awam yang dinilai tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan luas terkait satwa liar," terangnya.

"Dalam dunia konservasi satwa liar, salah satu tolak ukur keberhasilannya adalah pengembangbiakan satwanya. Artinya jika satwa liar tersebut tidak berkembang biak dan bahkan mengalami kematian, dapat dipastikan bahwa pengetahuan pengelola tersebut akan satwa liar sangat minim sekali," ujar Prof Ronny.

Minta Usut Kematian Satwa Liar Dilindungi

Ronny meminta kematian satwa liar yang dipelihara selebritas ini diusut secara tuntas. Kasus kematian satwa liar di tangan awam yang tidak diusut, sambungnya, akan mempermalukan Indonesia di dunia internasional, termasuk pihak berwenang RI yang mengeluarkan izin.

"Perlu dirunut secara aturan dan kebijakan bagaimana satwa liar yang dilindungi ini sampai dapat dipelihara secara perorangan. Kalaupun aturan memperbolehkan, tentunya tidak sembarang orang dapat memeliharanya, apalagi satwa liar yang menjadi ikon dunia ini mengalami kematian," jelasnya.

Pengusutan kasus kematian satwa dilindungi menurut Ronny juga perlu menguak bagaimana konsesi pemeliharaan satwa liar bisa jatuh pada perorangan dan bagaimana pengetahuan orang tersebut terkait satwa liar.

"Satwa liar bukanlah binatang peliharaan yang hanya sekedar untuk memuaskan hobi seseorang. Satwa liar perlu dilindungi dan memerlukan pengetahuan sangat khusus untuk memeliharanya," ucapnya.

Bahaya Pelihara Satwa Liar secara Perorangan atau Lembaga

Prof Ronny Rachman Noor menjabarkan penjelasan ilmiah terkait bahaya pemeliharaan satwa liar oleh perseorangan maupun lembaga. Berikut selengkapnya.

1. Stres Picu Perubahan Ekstrem Metabolisme dan Fisiologi

Ronny menjelaskan, satwa liar yang ditangkap dan dipindahkan ke lingkungan baru nonhabitat aslinya dapat dipastikan akan mengalami stres. Stres yang terjadi pada satwa dapat menyebabkan fenomena perubahan ekstrem metabolisme dan fisiologi hewan.

"Bagi orang awam, satwa liar yang dipelihara oleh perorangan maupun oleh lembaga seperti kebun binatang maupun taman safari dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap satwa liar. Namun, pada kenyataanya pembatasan gerak menjadi salah satu faktor pemicu stres dan kematian," tutur Guru Besar IPB University dari Fakultas Peternakan tersebut.

2. Risiko Tidak Dapat Bereproduksi

Stres yang berlanjut berisiko membuat hewan tidak dapat bereproduksi. Ronny mencontohkan, harimau Sumatera yang seharusnya dapat hidup dalam puluhan-ratusan km persegi per ekor akan stres jika tempat penampungan barunya tidak cukup luas.

"Pada prinsipnya, setiap hewan termasuk satwa langka memiliki zona homeostasis (zona ideal di mana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi) untuk setiap kondisi fisiologi tubuhnya. Jika terjadi perubahan lingkungan yang drastis, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan dirinya dari kondisi fisiologis ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya dengan cara mengalokasikan energi dan berbagai sumber daya lain di dalam tubuhnya," terang Prof Ronny.

Pengalihan energi dan sumber daya tersebut mengakibatkan tubuh satwa liar mengalami defisit energi dan sumber daya untuk kebutuhan lain, seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal/fasting metabolic rate). Kondisi ini menurutnya juga kerap berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya.

Saat stres berlanjut, sambung Ronny, satwa langka pun jadi harus menghabiskan energi dan sumber daya tubuhnya untuk mengatasi stres. Akitbanya, satwa langka tidak dapat bereproduksi.

"Bahkan, pada tahap satwa liar tidak dapat mengatasi stres yang lebih besar lagi, maka satwa langka akan mati," kata Ronny.

Di Mana Tempat Konservasi Satwa yang Tepat?

Prof Ronny menuturkan, konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka sekalipun di kebun binatang sudah banyak ditinggalkan di ilmu konservasi modern. Terlebih pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan, serta menerapkan sistem pengandangan.

Ia menegaskan, pembatasan ruang gerak akan memicu stres pada hewan. Konsep konservasi in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi menurut Ronny adalah yang paling tepat, walaupun memerlukan biaya tinggi.




(twu/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads