Mengenal Tradisi Wawacan Pangandaran, Budaya Sastra Naratif Leluhur Sunda

ADVERTISEMENT

Mengenal Tradisi Wawacan Pangandaran, Budaya Sastra Naratif Leluhur Sunda

Devita Savitri - detikEdu
Minggu, 30 Jul 2023 10:00 WIB
Wawacan Pangandaran
Foto: (Tangkapan layar YouTube BRIN)
Jakarta -

Wawacan, berasal dari kata babacaan yang artinya apa yang dibaca. Wawacan merupakan sumber informasi peristiwa, hikayat, kisah naratif dan deskriptif dalam bentuk nada puisi, pupuh, atau babad dalam sastra Sunda.

Dikutip dari buku Wawacan Lokayanti Suatu Kajian Tema dan Fungsi karya Suwardi Alamsyah, dkk menjelaskan wawacan sebagai bentuk sastra klasik Sunda. Sastra ini sudah ada sejak abad ke-17 yang dibawa oleh kaum feodal dan ulama Islam melalui pesantren. Oleh karena itu, biasanya isi wawacan melukiskan tentang kehidupan dan perkembangan agama Islam yang ditulis dalam huruf arab.

Pada jurnal Nilai Agama dalam Wawacan Hikayat Hasan Shoig Bashri Untuk Bahan Ajar Membaca di SMA Kelas XII yang disusun Rindi Vaiti Melandi, dkk dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dijelaskan wawacan adalah karya sastra naratif yang dibentuk dalam puisi pupuh, dalam pembacaannya biasanya suka dilagukan. Menurut para ahli, wawacan dalam sastra Sunda bukan merupakan asli dari kesusastraan Sunda, tetapi merupakan pengaruh dari sastra Jawa. Masuknya ke sastra Sunda kira-kira pada abad ke-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Tradisi Wawacan

Pada abad ke-17 M, wawacan sering dilisankan melalui kesenian beluk. Beluk merupakan acara pembacaan cerita lama yang dilakukan pada malam hari terutama setelah masa panen, mengungkapkan nadzaran atau selamatan bayi. Wawacan dalam sastra Sunda mendapat pengaruh dari kesusastraan Jawa yang masih dekat ke wilayah Sunda.

Terutama dibawa oleh kaum bangsawan dan kaum ulama. Oleh karena itulah, wawacan bisa dikenal oleh masyarakat di lingkungan pesantren.

ADVERTISEMENT

Perkembangan wawacan di daerah Sunda melalui empat tahap. Tahap pertama, kisah wawacan dari sastra Jawa langsung disalin dan tidak disundakan. Tahap kedua, mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda agar isinya bisa dimengerti oleh semua orang. Tahap ketiga, menciptakan cerita yang sudah ada dalam bentuk wawacan. Tahap keempat atau terakhir, adalah wawacan diterbitkan menjadi buku dan dilisankan melalui berbagai kesenian, termasuk beluk.

Dikutip dari detik Jabar, wawacan termasuk ke dalam naskah kuno leluhur yang juga termasuk dalam tangible cultural heritage. Hal ini berarti warisan budaya kebendaan yang bersifat kongkrit (material culture). Karena mengandung teks, wawacan juga dapat dikategorikan sebagai intangible cultural heritage atau 'warisan budaya non kebendaan' bersifat abstrak (immaterial culture).

Meskipun termasuk dalam warisan budaya kebendaan, wawacan beserta tradisinya secara umum masih dimiliki oleh perorangan atau keluarga di Pangandaran, Jawa Barat. Sastra ini menjadi benda pusaka yang diwariskan kepada anak cucu secara turun-temurun.

Kepala Bidang Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pangandaran, Risa Gantira mengatakan setidaknya ada 10 nakah kuno yang tersebar di Pangandaran. Salah satunya ada di Desa Cikalong yang dilestarikan oleh Aki Sangkeh.

Cerita Aki Sangkeh dan Tradisi Wawacan Pangandaran

Wawacan PangandaranWawacan Pangandaran Foto: (Tangkapan layar YouTube BRIN)

Cerita Aki Sangkeh dalam pelestarian tradisi Wawacan diangkat oleh Program Akuisisi Pengetahuan Lokal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Aki Sangkeh yang kini berusia 85 tahun adalah pelestari Warisan Budaya Tak Benda Wawacan di Desa Cikalong, Kabupaten Pangandaran dan hingga saat ini mengimplementasikan pengetahuannya.

Menurutnya, Wawacan berisi sejarah dari para wali atau lakon zaman kerajaan. Contohnya Wawacan Suryaningrat yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf latin.

Bentuk karangan berupa puisi dalam pupuh Asmarandana. Dalam isinya menceritakan seorang raja yang bernama Suryaningrat dan menjelaskan kerajaan yang ada di wilayah Parigi bernama Banyu Rungsit.

Aki Sangkeh telah belajar tentang Wawacan sejak dirinya masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD) di tahun 1953. Awalnya, ia belajar hanya dari guru di sekolah saja.

Namun, di rumah ia juga belajar dari para sesepuh yang pandai menulis menggunakan aksara Jawa. Aki Sangkeh menjelaskan waktu itu anak muda tidak ada yang bisa menulis, tetapi kaum tua bisa menulis aksara Jawa. Dari sejak itulah ia mengenal aksara Jawa dan mengimplementasikan untuk membaca wawacan.

"Dari mulai: Ha Na Ca Ra Ka - Da Ta Sa Wa La - Pa Dha Ja Ya Nya- Ma Ga Ba Tha Nga," ungkapnya dikutip detikedu dalam tayangan YouTube di kanal BRIN Indonesia.

Aki menjelaskan ada aturan-aturan pembunyian atau vokalisasi yang membedakan aksara Jawa dan Sunda. Aturan itu disebut dengan Rarangken.

Ia semakin mahir dalam membaca Wawacan karena belajar dari lingkungan sekitar rumahnya. Kini, Aki Sangkeh mengimplementasikan Wawacan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan adat.

Contohnya ketika masa tebar benih pertanian dan masa panen tiba. Aki menjelaskan dirinya punya patokan Pranata Mangsa ke-1 hingga Mangsa ke-12 yang menjelaskan kapan waktu yang tepat dalam perihal penanaman padi.

Penjelasan itu diambil dari dongeng Cacarakan yang menceritakan waktu untuk menanam padi pertama. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Wawacan juga sering ditampilkan dalam bentuk beluk.

Aki Sangkih menjelaskan dirinya sering dipanggil untuk menyampaikan Wawacan di malam hajatan. Bahkan ia pernah dipanggil oleh Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata.

Nah itulah sekilas tentang Tradisi Wawacan di Pangandaran, budaya sastra naratif leluhur Sunda.




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads