Baru-baru ini, para peneliti menemukan fosil kerangka dua spesies baru kucing taring tajam yang saat ini telah punah. Kedua spesies ini diperkirakan berkeliaran di Afrika sekitar 5,2 juta tahun yang lalu.
Keduanya spesies baru ini dinamai Dinofelis werdelini dan Lokotunjailurus chimsamyae tersebut. Temuan terbaru ini menunjukkan bahwa kucing taring tajam tersebar di wilayah yang lebih luas dari yang sebelumnya diketahui.
Kelompok Kucing Gigi Belati
Penggalian fosil kucing ini dilakukan di dekat Kota Langebaanweg di pantai barat Afrika Selatan. Para peneliti menemukan fosil kucing taring tajam ini saat menggali tulang-tulang dua spesies lain yang sudah diketahui, yaitu Adeilosmilus kabir dan Yoshi obscura, dilansir laman Live Science.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keempat spesies tersebut masuk dalam subfamili Machairodontinae, yang berarti gigi belati. Kelompok ini merupakan kelompok feline (keluarga kucing) pemangsa yang sudah punah. Sebagian besar anggota sub familinya adalah spesies kucing taring tajam.
Seukuran Kucing Besar Masa Kini
Sebagian besar anggota sub famili ini memiliki ukuran yang sama dengan kucing besar pada era modern. Penemuan ini digambarkan oleh para peneliti dalam studi yang diterbitkan pada 20 Juli dalam jurnal iScience.
Penemuan D werdelini bukan sesuatu yang mengejutkan bagi para peneliti. Pasalnya, spesies dari genus ini sebelumnya telah ditemukan di penjuru dunia, termasuk Eropa, Amerika Utara, dan China.
Namun, peneliti cukup terkejut saat menemukan spesies L chimsamyae. Sebab, anggota genus ini sebelumnya hanya pernah ditemukan di Kenya dan Chad.
Para peneliti kemudian mengungkapkan, temuan-temuan baru ini menunjukkan sebagian besar kucing taring tajam mungkin tersebar jauh lebih luas dibandingkan dengan yang sebelumnya diketahui.
Hidup di Hutan dan Padang Rumput Terbuka
Selanjutnya para peneliti membandingkan tulang-tulang spesies yang baru ditemukan dengan kucing bertaring tajam sebelumnya. Harapannya, mereka bisa membuat pohon keluarga baru untuk kelompok ini.
Para peneliti menemukan keempat spesies tersebut tidak berhubungan dekat satu sama lain. Kemungkinan, mereka menduduki ceruk ekologi yang berbeda meskipun tinggal di daerah yang sama dan pada saat yang sama.
Sebagai contoh, L chinsamyae dan A kabir memiliki ukuran yang lebih besar sehingga lebih cocok untuk berlari dengan kecepatan tinggi. Karena itu, spesies ini cocok tinggal pada lingkungan padang rumput terbuka.
Di sisi lain, D werdelini dan Y obscura memiliki ukuran lebih kecil dan lebih lincah. Kondisi fisiknya lebih cocok tinggal di lingkungan yang tertutup, seperti hutan. Tumpang tindihnya spesies-spesies ini menunjukkan habitat mereka mencakup hutan dan padang rumput terbuka.
Para peneliti kemudian berasumsi, perbedaan habitat kedua kucing taring tajam ini mungkin disebabkan oleh perubahan iklim di Afrika. Perubahan tersebut perlahan-lahan mengubah Benua Afrika dari hutan raksasa menjadi padang rumput terbuka, tipe habitat dominan saat ini di sana.
Sayangnya, hingga saat ini para peneliti tidak yakin kapan pergeseran jenis ekosistem di seluruh Afrika itu terjadi.
Temuan ini telah membantu mereka untuk mengungkap bagaimana hominin nenek moyang manusia, pertama kali muncul di Afrika sekitar waktu tersebut, menjadi bipedal atau berjalan dengan dua kaki. Perubahan tersebut diyakini dipicu oleh perubahan lingkungan.
Namun, penelitian terbaru yang mengamati ekosistem kuno lain di seluruh Afrika menemukan padang rumput mulai muncul sekitar 21 juta tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan ekosistem mungkin tidak berdampak pada bipedalisme hominin.
(twu/twu)