Esensi Mudik Kini Tak Cuma Untuk Pulang Kampung, Begini Penjelasan Pakar Unair

ADVERTISEMENT

Esensi Mudik Kini Tak Cuma Untuk Pulang Kampung, Begini Penjelasan Pakar Unair

Nikita Rosa - detikEdu
Jumat, 28 Apr 2023 16:00 WIB
Puncak arus balik libur Lebaran diprediksi terjadi hari ini. PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 1 Jakarta mencatat ada 43 ribu pemudik tiba di Jakarta siang ini.
Esensi Mudik Kini Telah Berubah. (Foto: Grandyos Zafna)
Jakarta -

Tradisi mudik selalu lekat dengan Hari Raya Idulfitri. Tradisi ini umumnya dilakukan oleh umat muslim yang merantau, baik untuk tujuan pekerjaan, pendidikan, maupun yang lainnya.

Awalnya, mudik menjadi momen melepas rindu dengan sanak keluarga di kampung halaman. Namun seiring perkembangan zaman, fenomena mudik terus mengalami perubahan.

Dipengaruhi dinamika sosial dan perubahan zaman, Pakar Universitas Airlangga (Unair) meyakini fenomena mudik dulu dan kini telah mengalami perubahan esensi. Lantas, bagaimana awal mula mudik menjadi tradisi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah dan Asal Kata Mudik

Dosen Departemen Sejarah Unair, Moordiati SS MHum menerangkan bahwa sebenarnya fenomena pulang kampung atau mudik ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Ketika itu, para penguasa yang ditugaskan bekerja di luar kerajaan akan pulang dan kembali ke kampungnya di hari-hari tertentu.

Meski telah ada sejak zaman kerajaan, tetapi fenomena mudik serta penggunaan istilahnya diperkirakan baru terjadi pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Hal itu selaras dengan tingginya angka urbanisasi masyarakat desa dan kota.

ADVERTISEMENT

"Jadi, istilah ini mulai berkembang dan menjadi sesuatu yang sangat masif pada tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, seiring dengan masifnya urbanisasi," ujarnya dalam situs Unair dikutip Jumat (28/4/2023).

"Nah, ini kemudian yang membuat orang berbondong-bondong dari tempat dia bekerja menuju tempat asalnya. Inilah yang kemudian dikaitkan dengan tradisi dan bahasa Melayu," imbuhnya.

Dari asal istilahnya, kata mudik berasal dari bahasa Melayu yang berarti dari hilir ke hulu. Jadi, orang-orang akan pergi setiap pagi ke hilir, kemudian pulang ke hulu ketika sore. Kemudian mudik berasal dari istilah "udik" yang secara istilah juga bisa berarti dengan ujung, yang artinya pergi ke asalnya.

Istilah mudik dalam perkembangannya juga mengalami perubahan. Seiring dengan tradisi lebaran, mudik diasosiasikan dengan istilah Jawa mulih dhisik yang artinya 'pulang dulu'.

"Seiring dengan adanya tradisi lebaran, orang-orang mengatakan istilah mudik itu mulih dhisik, serapan dari bahasa Jawa. Ini masuk akal mengingat banyak orang Jawa yang merantau dan melakukan mudik saat lebaran," tuturnya.

Mudik dan Esensinya yang Berubah

Terkait dengan esensi mudik, Moordiati menekankan bahwa pada tahun 60-an hingga 80-an, 'roh' dari fenomena mudik sangat jelas terlihat.

"Kalau dulu mudik itu kan, rohnya sangat kelihatan, utamanya saat proses urbanisasi sangat tinggi, sekitar tahun 60-an hingga 80-an. Orang mudik itu ya, memang karena dia ingin pulang ke kampung halamannya sebab ada ikatan emosional yang tinggi. Jadi, dulu orang melakukan mudik dengan cara apa pun. Meski istilahnya dengan kendaraan yang seadanya dan minimalis," jelasnya.

Akan tetapi, sekarang ini tradisi mudik telah banyak berubah. Moordiati memandang bahwa perubahan itu penyebabnya karena perubahan gaya hidup, peningkatan kehidupan sosial, hingga persaingan status sosial. Sehingga, mudik yang semula sebagai ajang melepas rindu dan bersilaturahmi seolah menjadi kehilangan esensinya.

"Orang sekarang kan mudik tidak lagi seperti zaman dulu ya, jadi mereka ketika pulang itu bukan karena ada ikatan emosional lagi, tetapi karena mereka ingin menunjukkan social life mereka di tempat rantau," ujarnya.




(nir/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads