Sorot Layanan Ambulans Tak Optimal, Tim Mahasiswa Unair Beri Solusi Begini

ADVERTISEMENT

Sorot Layanan Ambulans Tak Optimal, Tim Mahasiswa Unair Beri Solusi Begini

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 28 Apr 2023 13:30 WIB
1 pelajar yang terluka akibat tawuran dilarikan pakai ambulans. (Nizar Aldi/detikSumut)
Foto: Nizar Aldi
Jakarta -

Sekelompok mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) menyoroti masalah pelayanan ambulans yang tidak optimal. Mereka menemukan, ambulans bukan transportasi tercepat untuk membawa pasien ke rumah sakit.

Berdasarkan survei, hanya 9,3 persen pasien yang memperoleh pelayanan ambulans. Sementara itu, ada 38 persen pasien lainnya yang bahkan tidak tahu akan adanya ketersediaan layanan ambulans.

Tim mahasiswa peneliti asal Jurusan Teknik Industri Unair tersebut melihat, jumlah ambulans yang tidak memadai jadi faktor tidak optimalnya pelayanan ambulans.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para mahasiswa mencatat, salah satu daerah yang pelayanannya belum optimal adalah Jakarta.

Di tengah pandemi COVID-19 2021, Emergency Medical Services (EMS) yang targetnya mampu memenuhi 8.000 permintaan layanan ambulans ternyata hanya dapat memenuhi 4.000 permintaan. Ini berarti ambulans hanya dapat melayani dua pasien setiap hari.

ADVERTISEMENT

Permasalahan tersebut dituangkan mahasiswa Unair Luqyana Humaira, Maissy Ar Maghfiroh, Angelina Miracle, Muhammad Naufal Razani, dan Ilman Andaludzi ke dalam sebuah artikel ilmiah. Penelitian mereka membahas tentang metode di negara-negara lain yang diterapkan sebagai solusi optimalisasi pelayanan ambulans.

Sarankan Metode Optimalisasi Ambulans Seperti di Belgia

Salah satu anggota penulis, Luqyana, mengatakan kelompoknya menyarankan solusi optimalisasi layanan ambulans dengan Double Standard Model (DSM). Sejumlah negara seperti Belgia, Kanada, dan Austria disebut menggunakan metode ini.

Ia mengatakan, metode DSM telah terbukti jadi salah satu model pemecahan masalah lokasi ambulans yang paling banyak diterima dan diterapkan.

"DSM merupakan model yang diusulkan oleh Schmid untuk memperhitungkan waktu perjalanan yang bervariasi sepanjang hari," jelas mahasiswa yang disapa Luqy tersebut, dikutip dari rilis dalam situs resmi kampus.

Luqy dan kawan-kawan juga mengajukan alternatif berupa EMS yang berkembang dengan tiga skenario seperti di Isfahan, Iran.

Skenario pertama yaitu menyediakan pelayanan dengan sistem yang ada. Tujuannya yakni menentukan kemungkinan bahwa sistem yang ada mampu mencakup permintaan selama jam sibuk.

"Hasil dari skenario pertama menunjukkan cakupan permintaan bantuan adalah 77,56 persen dengan waktu respons permintaan bantuan sekitar 11,01 menit. Ini jauh lebih tinggi daripada waktu respons standar yaitu 8 menit," ujar Luqy.

Skenario kedua yaitu merelokasi posko bantuan dan ambulans. Hasil skenario ini menunjukkan cakupan permintaan bantuan bisa meningkat dari 77,56 persen jadi 95,1 persen.

Kemudian, skenario yang terakhir adalah anggaran minimum untuk meningkatkan kemungkinan cakupan hingga batas tertentu.

"Sebab hasil dari skenario kedua menunjukkan lokasi posko bantuan yang ada tidak sesuai dan perlu untuk dipindahkan," kata Luqy.

Berdasarkan skenario ketiga, terlihat perlunya alokasi tujuh ambulans baru ke lima stasiun baru untuk mencapai minimal 90 persen permintaan cakupan.

Sistem EMS dengan tiga skenario ini disebut Luqy bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan.




(nah/twu)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads