Pulau Penyengat berjarak 15 menit penyeberangan laut dari Tanjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau (Kepri). Pusat pemerintahah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ini menyimpan peninggalan naskah kuno pengobatan hingga ilmu falak dan jadi tempat berdirinya masjid yang dibangun dengan putih telur.
Pulau Penyengat dijadikan mas kawin Sultan Mahmud Syah pada istrinya, Engku Putri Raja Hamidah pada 1803. Kelak, Masjid Raya Sultan Riau Penyengat berdiri pada 1832, atas perintah Dipertua Muda Riau VII Raja Abdurrachman.
Masjid dari Beton dan Putih Telur
Masjid Raya Penyengat tersebut sebelumnya didirikan dari papan-papan kayu pada 1803. Setelah perintah pembangunan, masjid tersebut dibangun lebih kuat dengan beton cor dan rampung pada 1844, seperti dikutip dari laman Komunikasi Universitas Negeri Malang (UM).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para warga menyumbang tenaga hingga logistik, termasuk telur ayam hingga berkapal-kapal. Agar tidak mubazir tak termakan, telur-telur ini dipakai sebagai perekat bangunan.
"Dulu, banyak pekerja dari India membantu pembangunan masjid, banyak yang menyumbang telur sampai berkapal-kapal. Daripada tidak kemakan, putih telur dipakai sebagai perekat bangunan," kata Bobby, pemandu wisata setempat, dikutip dari detikTravel.
Mushaf Al-Qur'an Usia 200 Tahun
Bangunan utama Masjid Raya Penyengat kelak berdiri seluas 18 x 20 meter. Catnya kuning dan hijau, simbol kesejahteraan dan agama Islam.
Kubahnya yang berbentuk bawang merah berjumlah 13 buah. Total kubahnya sendiri mencapai 17 buah, lambang jumlah rakaat salat sehari semalam.
Di antara menara-menara masjid, dipajang mushaf Al-Qur'an tulisan Abdurrahman Stambul, putra Penyengat yang diutus sultan untuk belajar di Turki pada 1867.
Mushaf Al-Qu'ran tulisan Abdullah Al Bugisi dari tahun 1752 juga tersimpan bersama naskah-naskah kuno dalam lemari besar masjid. Mushaf tersebut juga dilengkapi tafsiran ayat Al-Qur'an, tetapi tidak diketahui penulisnya.
Warga setempat, termasuk anak-anak, lazim salat dan belajar mengaji di masjid dan balai-balainya. Balai di kompleks masjid dipakai untuk menunggu waktu salat, tempat istirahat pejalan, dan tempat berkesenian.
Dahulu, balai-balai ini digunakan sebagai tempat belajar, khususnya ilmu agama. Empat ulama Riau-Lingga yang tercatat mengajar di Masjid Raya Penyengat ini antara lain Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Ismail, Syekh Arsyad Banjar, dan Haji Shahabuddin.
(twu/nwy)