Hari ini, Senin (20/3/2023), Google doodle turut merayakan ulang tahun ke-83 penyair legendaris Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan sekaligus dosen yang pernah mengajar di sejumlah kampus tersebut meninggal pada 19 Juli 2020 lalu.
Sapardi Djoko Damono lahir di Solo sebagai anak pertama dari Sadyoko dan Sapariah. Tokoh yang lahir pada 20 Maret 1940 itu tinggal di Ngadijayan, kampung Pangeran Hadiwijaya.
Pada sebuah tulisan bertajuk Permainan Makna (dalam Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra: Permainan Makna, 1999: 255-273) seperti dikutip dari buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya oleh Bakdi Soemanto, Sapardi menceritakan bahwa keluarga dari garis ibunya hidup berkecukupan pada masa penjajahan Belanda. Sayangnya, pada masa kecil Sapardi, kehidupan yang cukup itu berubah menjadi kekurangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut penuturan ibunya kepada Sapardi, hidup mereka sangat berat pada masa penjajahan Jepang. Setelah kemerdekaan, kehidupan mereka pun tak kemudian menjadi lebih baik.
Baca juga: Siapa Penulis Pertama di Dunia? Ini Karyanya |
Ibunya berjualan buku-buku tebal untuk bisa beli minyak tanah. Sementara, ayahnya ke luar kota untuk menghindari penangkapan Belanda, meski bukan berarti seorang gerilyawan.
Pada waktu itu, ayah Sapardi menghindari yang diistilahkan sebagai londo mendem atau Belanda Mabuk. Ungkapan ini merujuk pada kondisi di mana, jika ada pembunuhan terhadap serdadu Belanda, maka seluruh kampung diobrak-abrik dan para lelaki diangkut dengan truk keesokan paginya.
Pendidikan Sapardi Djoko Damono
Semasa kecil, Sapardi mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Kraton Kasatriyan, Baluwarti, Solo, lalu SMP Negeri II Solo. Dikutip dari Ensiklopedia Kemdikbud, setelah SMA, Sapardi kuliah di jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, dia pun pernah memperdalam ilmunya mengenai humanities di University of Hawaii pada 1970-1971.
Tahun 1989 Sapardi meraih gelar doktor ilmu sastra. Pada 1995 dia diresmikan sebagai guru besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI).
Jadi Dosen di Berbagai Kampus
Sapardi pernah bekerja sebagai dosen tetap dan menjadi Ketua Jurusan Bahasa Inggris IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang, UM) Cabang Madiun pada 1964-1968. Dia juga pernah menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya Universitas Diponegoro (Undip) pada 1968-1973.
Lantas, pada 1974 Sapardi menjadi dosen tetap di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Meski pada 2005 dia sudah masuk masa pensiun sebagai guru besar di UI, Sapardi masih mendapat tugas sebagai promotor konsultan dan penguji di sejumlah perguruan tinggi, tak terkecuali sebagai konsultan Badan Bahasa.
Sapardi pun mempunyai berbagai peran selain sebagai dosen. Dia sempat menjabat Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia di Jakarta (1973-1980), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1977-1979), anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987), dan banyak lagi.
Sebagai seorang pakar sastra, Sapardi juga menulis sejumlah buku penting, misalnya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978) dan lain sebagainya.
Semasa hidupnya, Sapardi Djoko Damono pun menerjemahkan beberapa karya sastra asing. Ada Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p'Bitek), dan lainnya.
Tentunya, sastrawan legendaris ini tak ketinggalan soal penghargaan. Beberapa prestasinya yang luar biasa adalah Cultural Award (1978) dari Pemerintah Australia, Anugerah Puisi-Puisi Putera II (1983) dari Malaysia untuk bukunya Sihir Hujan, hingga SEA Write Award (1986) dari Thailand.