Pukat harimau adalah salah satu alat bantu penangkapan ikan yang penggunaannya dilarang. Dinilai merusak ekosistem laut.
Ekosistem laut sering dimanfaatkan untuk sumber mata pencaharian yang dapat menopang kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. www.detik.com/tag/pukat-harimau
Penggunaan alat bantu dalam melakukan penangkapan biota laut kerap digunakan. Tujuan penggunaan alat bantu tentunya untuk memudahkan dalam penangkapan ikan serta mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, beberapa alat bantu tersebut malah menimbulkan dampak yang merusak ekosistem laut. Salah satu penggunaan alat bantu yang merusak adalah penggunaan pukat harimau (trawl).
Pengertian Pukat Harimau
Dilansir dari jurnal Universitas Riau (Unri) berjudul Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Terhadap Pelaku Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Pukat Harimau (Trawl) Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis yang ditulis H Riyanda Elsera Yozani, pukat harimau (trawl) diketahui sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan.
Jaring yang berbentuk kantong ini akan ditebarkan di laut lepas yang kemudian ditarik oleh dua kapal. Penggunaan pukat harimau dinilai efektif dalam membantu nelayan melakukan penangkapan ikan.
Terdapat perbedaan ukuran jaring antara pukat harimau dengan jaring nelayan tradisional. Jaring yang digunakan oleh pukat harimau cukup luas namun lubang pada jaring tersebut berukuran kecil jika dibandingkan dengan jaring nelayan tradisional.
Penggunaan pukat harimau juga merupakan bentuk dari illegal fishing. Hal ini dikarenakan praktik penggunaan pukat harimau melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sejarah Pukat Harimau
Kemunculan pemakaian pukat harimau diketahui berawal dari munculnya pabrik perikanan pukat harimau oleh armada Eropa Timur dan Uni Soviet, teknologi pemancingan yang melibatkan pembekuan dan pemrosesan ikan di atas kapal. Demikian dilansir dari buku High Seas Bottom Trawl Fisheries and Their Impacts on The Biodiversity of Vulnerable Deep Sea Ecosystems: Option for International Action yang ditulis oleh Matthew Gianni
Pukat harimau mulai banyak digunakan pada sekitar tahun 1950-1960 khususnya pada perairan Atlantik Barat Laut. Penggunaan pukat harimau pada tahun tersebut ditujukan untuk menangkap beberapa jenis ikan pipih.
Namun, dikarenakan adanya Deklarasi Kanada atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil maka penangkapan ikan menggunakan pukat harimau dipusatkan pada sekitar Grand Banks. Namun, sekitar tahun 1990-an penangkapan ikan dengan jenis tersebut mengalami keruntuhan. Kemudian, penggunaan pukat harimau difokuskan untuk jenis biota laut lainnya.
Bahaya Penggunaan Pukat Harimau
Penggunaan pukat harimau dapat membahayakan ekosistem laut. Meskipun pukat harimau merupakan metode yang efektif dalam menangkap ikan tetapi penggunaannya dapat menyebabkan kerusakan yang besar pula.
Pukat harimau dapat menjaring apa saja yang dilewatinya termasuk ikan-ikan kecil karena jaring pukat harimau sangat kecil. Hal ini tentunya sangat merugikan karena ikan-ikan tersebut masih dapat berkembang biak. Penangkapan terhadap ikan-ikan kecil ini juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem laut.
Peletakan pukat harimau pada dasar laut dan beratnya yang tidak ringan juga dapat merusak terumbu karang. Kerusakan terumbu karang dapat menyebabkan hilangnya habitat biota laut dan merusak kehidupan di bawah sana.
Bahaya penggunaan pukat harimau menyebabkan dilarang penggunaannya. Rusaknya ekosistem laut yang disebabkan oleh pukat harimau ini tentunya memiliki dampak yang besar. Sehingga penggunaan pukat harimau ini diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan Penggunaan Pukat Harimau
Penggunaan pukat harimau sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 9 Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa:
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Sedangkan, Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 85 Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Undang-Undang tersebut yang menjadi landasan bagi penegak hukum untuk menertibkan oknum-oknum yang masih menggunakan pukat harimau (trawl) dalam proses penangkapan ikan ataupun biota laut lainnya.
(nwk/nwk)