Sebuah studi yang dikeluarkan oleh peneliti di Institut Max Planck untuk Mikrobiologi Kelautan temukan enzim yang bisa mengubah racun menjadi makanan.
Dilansir melalui laman SciTechDaily, Jumat (17/2/2022) enzim itu berada di mikroba penghasil metana bernama metanogen. Metanogen adalah organisme kecil yang menghasilkan metana di lingkungan yang kekurangan oksigen. Metanogen biasa tumbuh subur di lingkungan penuh sulfit beracun.
Uniknya meski tumbuh di daerah penuh racun, metanogen tak berubah jadi racun. Waw menarik ya!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mengenal Biogas dan Proses Pembuatannya |
Penjelasan Metanogen
Metanogen dapat menghasilkan metana seperti yang ada di sistem pencernaan ruminansia (hewan pemamah biak seperti sapi, biri-biri dan domba). Metana itu berperan penting dalam siklus karbon global karena merupakan gas rumah kaca yang sangat kuat.
Di balik dampak buruk yang ditimbulkan, metana juga dapat berfungsi sebagai sumber energi untuk memanaskan rumah.
Proses Penelitian
Diketahui studi ini diterbitkan di jurnal Nature Chemical Biology. Para peneliti menggunakan dua metanogen penyuka panas laut sebagai objek penelitiannya.
Keduanya yakni Methanol thermococcus thermolithotrophicus yang hidup di sedimen yang dipanaskan secara geothermal sekitar 65Β°C dan Methanocaldococcus jannaschii yang lebih menyukai gunung berapi laut dalam dengan suhu sekitar 85Β°C.
Mereka menemukan ada energi seluler yang dapat memproduksi metana dan menerima belerang untuk diubah dalam bentuk sulfida.
Sulfida adalah racun bagi sebagian besar organisme, namun mereka penting bagi metanogen. Metanogen mampu mentolerir racun sulfida bahkan dalam konsentrasi tinggi.
Namun, ada kelemahan dari hal tersebut. Sulfida adalah senyawa belerang beracun dan reaktif, dengan demikian mereka akan menghancurkan enzim yang dibutuhkan untuk membuat metana.
Di dalam laut, kedua organisme yang menjadi objek penelitian terkadang terpapar sulfida. Hal itu terjadi ketika oksigen tersedia dan bereaksi dengan sulfida yang tereduksi.
Hasilnya akan terjadi oksidasi parsial dalam pembentukan sulfit. Dengan demikian metanogen akan melindungi diri mereka sendiri sehingga tidak terpapar racun. Tapi mengapa metanogen bisa melakukan itu?
Penjelasan Penelitian
Marion Jespersen dan Tristan Wagner dari Institut Max Planck untuk Mikrobiologi Kelautan di Bremen, Jerman bersama dengan Antonio Pierik dari Universitas Kaiserslautern menjelaskan ada alasan mengapa metanogen bisa tidak terpapar racun.
Hal tersebut lantaran adanya sebuah enzim yang mendetoksifikasi sulfit. Enzim itu berbentuk kupu-kupu dan dikenal sebagai F420-dependent Sulfit Reductase atau Fsr.
Fsr mampu mengubah sulfit menjadi sulfida yang merupakan sumber belerang yang aman dan dibutuhkan metanogen untuk pertumbuhan.
Ketika bekerja, enzim Fsr menjebak sulfit dan langsung mereduksinya menjadi sulfida yang kemudian dapat dipadu dengan berbagai hal misalnya asam amino.
"Akibatnya, metanogen tidak beracun bahkan menggunakan sulfida sebagai sumber belerangnya. Dampaknya Fsr dapat mengubah racun menjadi makanan," ujar Marion Jespersen.
Namun hal ini tentu saja tidaklah mudah dan sederhana. Para ilmuwan menemukan mereka menemukan berbagai situasi menarik dan rumit juga tumpang tindih.
Mereka menjelaskan ada dua cara dalam reduksi sulfit yakni disimilasi dan asimilasi. Ternyata, enzim yang diteliti terbuat dengan dua cara tersebut yakni disimilasi dan asimilasi.
Enzim itu telah berevolusi dari satu nenek moyang yang sama yakni enzim kuno yang memiliki dampak besar pada siklus sulfur dan karbon global.
"Enzim yang kami temukan ini, Fsr mungkin adalah cuplikan dari enzim purba kuno ini. Sebuah kilas balik evolusi yang menarik," kata Tristan Wagner kepala Metabolisme Mikroba Kelompok Riset Max Planck di Institut Max Planck di Bremen.
Aplikasi Enzim Fsr
Fsr tidak hanya membuka implikasi evolusi tetapi juga memungkinkan peneliti memahami dunia mikroba laut. Sebenarnya metanogen yaitu Methanol thermococcus thermolithotrophicus memang sudah ada.
Namun, para peneliti berhipotesis bahwa Fsr mengatur reaksi terakhir dari jalur reduksi sulfat karena salah satu perantaranya adalah sulfit.
Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan agar bisa mendapatkan gambaran lengkap tentang kemampuan mikroba ajaib ini.
(nwk/nwk)