Twitter baru-baru ini mengumumkan penyetopan layanan Application Programming Interface (API) gratis bagi pengguna lewat akun @TwitterDev usai diakusisi Elon Musk. Akibatnya, beragam akun menfess dan fanbase berisiko punah karena menggunakan layanan ini.
Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Febby Risti Widjayanto, penyetopan akses API gratis justru bertentangan dengan rencana awal Elon Musk yang ingin menjadikan Twitter sebagai digital town hall atau alun-alun kota digital.
Ia menjelaskan, akses API berbayar membuat orang tidak lagi mudah memanfaatkan Twitter untuk menyampaikan aspirasi, opini, atau pendapat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini jadi menimbulkan pertanyaan, bahwa misi untuk mendukung demokrasi tampaknya menjadi superfisial," kata Febby, dikutip dari laman resmi kampus, Senin (13/2/2023).
Kenapa API Twitter Gratis Penting?
Febby menjelaskan, menfess ataupun fanbase yang selama ini menggunakan akses API gratis tidak hanya sekadar bentuk berbagi informasi secara anonim, ekspresi minat, dan menambah audiens serta jejaring dengan minat sama.
Lebih jauh, ekosistem digital yang semarak oleh akun menfess dan fanbase juga dapat menjadi sarana berdemokrasi untuk dimanfaatkan berbagai peneliti, jurnalis, organisasi sipil masyarakat, dan kelompok-kelompok lain demi memperjuangkan kepentingan umum.
Ia mencontohkan, seseorang dapat membuat akun komunitas di Twitter untuk membagikan, menginisiasi, dan membangun gerakan penting seperti kesadaran akan kesehatan mental hingga pelaporan kasus kekerasan.
"Contoh lain misalnya ketika Twitter dimanfaatkan untuk melaporkan kasus kekerasan serta ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan bagi kelompok-kelompok yang rentan," tutur Dosen Politik Digital Unair ini.
"Atau ketika para jurnalis menurunkan sebuah laporan investigasi atas sebuah kasus yang sulit diungkap, serta bagaimana para peneliti dan akademisi juga nantinya akan terdampak bila mereka melakukan penelitian dengan menggunakan fitur API," imbuhnya.
Febby menambahkan, masyarakat juga terbantu akan akun identifikasi kebencanaan. Akun Twitter ini menggunakan fitur API dan chatbot untuk mendeteksi kata kunci tertentu dalam upaya pelaporan bencana alam secara aktual.
"Ini bisa kita lihat saat terjadi gempa, kita bisa menemui akun-akun pendeteksi laporan gempa di Twitter. Dengan kata lain, adanya pembatasan penggunaan API berarti membatasi dan atau bahkan dapat menghilangkan praktik-praktik komunikasi tersebut," jelasnya.
Jika Monetisasi dan Komersialisasi Twitter Tidak Selaras dengan Demokrasi Digital
Menurut Febby, pengguna Twitter tidak bisa berharap banyak jika monetisasi dan komersialisasi Twitter nantinya tidak selaras dengan demokrasi digital. Sebab, Twitter pada akhirnya akan selalu tunduk pada kebijakan pemiliknya.
Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa warga negara demokratis tetap bisa melakukan tuntutan yang kemudian diteruskan oleh lembaga legislatif. Ia menjelaskan, tuntutan ini bisa memengaruhi kebijakan platform Twitter setempat.
"Di Amerika Serikat sendiri pada akhir tahun lalu baru mengesahkan undang-undang yang mewajibkan platform media sosial untuk menerapkan transparansi dan menyediakan akses data terhadap para peneliti yang memang sedang melakukan studi yang bermanfaat bagi publik, seperti Digital Services Oversight and Safety Act dan Platform Accountability and Transparency Act," kata Febby.
"Artinya, bila kebijakan Twitter itu dijalankan, tentu akan diawasi dan dievaluasi oleh Kongres. Sebagaimana kita juga pernah saksikan, bos Facebook juga pernah dipanggil oleh Kongres dan dimintai keterangan mengenai kebocoran data yang terjadi di media sosial tersebut," pungkasnya.
(twu/nwk)