Daya saing digital Indonesia masuk dalam urutan terendah di Asia. Menurut laporan Institute for Management Development (IMD) World Digital Competitiveness Ranking 2021, Indonesia menempati peringkat ketiga terendah, bersamaan dengan Mongolia dan Filipina.
Dijelaskan oleh Rosdiana Sijabat selaku Dewan Pakar Institute of Social Economic Digital (ISED), pemeringkatan tersebut dilihat dari daya saing infrastruktur fisik, daya saing Sumber Daya Manusia (SDM), dan lainnya. Data tersebut mencerminkan daya saing digital Indonesia masih rendah, baik dalam infrastruktur maupun SDM.
Meski demikian, lanjutnya, Indonesia memiliki pasar yang cukup besar. Selain itu, masyarakat Indonesia juga aktif dalam bermedia sosial.
"Tetapi kita lihat masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkan akses terhadap sarana digital ini untuk kepentingan-kepentingan ekonomi," ujarnya dalam Diskusi ISED: Meneropong Masa Depan Startup 2023 di Giesmart Plaza Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Lalu, apa penyebab rendahnya daya saing digital di Indonesia?
Apa Sebab Rendahnya Daya Saing Digital Indonesia?
Menurut Founder ISED Ryan Kiryanto, berikut dua penyebab rendahnya daya saing digital di Indonesia:
1. Posisi Geografis
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki hampir 16.771 pulau yang tersebar luas. Ryan mengungkapkan, luasnya wilayah Indonesia berpengaruh pada perbedaan tingkat literasi digital.
Ryan mencontohkan, apabila di wilayah Jakarta sudah mengenal teknologi generasi ke-5, belum tentu sama dengan wilayah lainnya.
"Mungkin di luar Jawa, daerah-daerah yang sulit dijangkau (baru mengenal) teknologi generasi 3," katanya.
2. Sosiokultural
Selain itu, sosiokultural juga menjadi alasan rendahnya daya saing digital Indonesia. Menurut dewan pakar ISED itu, generasi yang lebih tua lebih sulit menyesuaikan diri dengan teknologi digital dibandingkan dengan generasi muda.
"Kelompok baby boomers dan ke atasnya mungkin susah menangkap nilai-nilai IT yang sangat cepat ini," jelasnya.
Generasi terdahulu, lanjutnya, juga kerap berpandangan bahwa harus bertemu secara tatap muka. Apabila ingin bertransaksi, generasi tersebut akan memilih datang ke bank langsung daripada bertransaksi secara online.
"Mau beli sesuatu kalau gak ketemu teller kok rugi (ada yang kurang), padahal bisa pakai internet banking, bisa pakai mobile banking," katanya.
Kondisi ini berbeda dengan generasi muda yang memilih bertransaksi online melalui gawai masing-masing.
Bonus Demografi Bisa Jadi Solusi
Ryan melanjutkan, generasi muda yang dikenal sebagai bonus demografi itu bisa mengisi ruang-ruang daya saing digital. Lahir dengan teknologi, generasi muda seperti milenial dan generasi Z menurut Ryan lebih cepat menangkap keahlian digital.
"Mereka akan cepat sekali advance dengan sesuatu yang berbau teknologi modern. Jadi mereka tidak alergi, malah mereka sangat menyukai perangkat-perangkat ini," jelasnya.
Selain itu, Ryan mengungkapkan pemerintah juga sudah menetapkan road map atau peta jalan pengembangan ekonomi digital di Indonesia.
"Saya yakin melek teknologi digital keuangan, digital economy kita, akan cepat naik," pungkasnya.
Simak Video "Ekonomi Digital Indonesia Diprediksi Capai USD 77 Miliar Akhir Tahun"
[Gambas:Video 20detik]
(nir/twu)