Pakar Unair: Perppu Cipta Kerja Bertentangan dengan Putusan MK

Pakar Unair: Perppu Cipta Kerja Bertentangan dengan Putusan MK

Nikita Rosa - detikEdu
Senin, 09 Jan 2023 18:00 WIB
ilustrasi hukum
Tanggapan Pakar Hukum Unair Tentang Perppu Ciptaker. (Foto: Dok.detikcom)
Jakarta -

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau akrab disebut dengan Perppu Cipta Kerja resmi disahkan oleh Presiden Jokowi pada Jumat (30/12).

Perppu ini merupakan pengganti sementara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker cacat formil dan inskonstitusional bersyarat sehingga perlu diperbaiki.

Menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, selama waktu perbaikan Undang-undang Ciptaker, tidak boleh ada kekosongan regulasi demi menjaga stabilitas perekonomian.

"Dalam rangka memperbaiki itu, situasi tidak boleh stagnan, tidak boleh vakum, harus ada [regulasi] supaya perekonomian kita terjaga, investor juga tidak bingung," ujar Wapres dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dikutip Senin (9/1/2023).

"Kemudian, maka jalan keluarnya dibuat perppu untuk menanggulangi situasi dan keadaan itu," sambungnya.

Perihal itu, pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM memberikan pandangannya. Menurut Dr Aris, perppu merupakan produk hukum yang dikeluarkan pada saat darurat.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa perppu dikeluarkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Adapun hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terbagi atas unsur subjektif dan objektif.

"Ada unsur subjektif dalam lahirnya perppu, yaitu subjektivitas presiden terhadap kebutuhan mengeluarkan perppu. Namun, ada unsur objektif yang diatur melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009," ujar Dr Aris dalam laman Unair.

Unsur objektif tersebut terdiri dari tiga, yaitu:

1. Ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
2. Tidak ada Undang-Undang atau ada, tetapi tidak lengkap.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa.

Presiden Berwenang Atas Perppu Cipta Kerja

Lanjutnya, Dr Aris berpandangan bahwa dari segi kewenangan, tidak ada masalah dalam Perppu Cipta Kerja. Hal itu karena memang presiden memiliki wewenang mengeluarkan perppu. Akan tetapi, tambahnya, perppu pun tidak lepas dari upaya hukum untuk dilakukan pengujian.

"Secara kewenangan, tidak ada masalah (soal Perppu Cipta Kerja, red) karena presiden memang punya kewenangan. Namun, perihal sah tidaknya secara formil dan materiil, alat ukurnya berada pada tahap proses di DPR. Itu karena DPR yang diberi kewenangan untuk menentukan apakah perppu tersebut sudah sesuai dengan UUD NRI 1945 baik secara formil maupun secara materiil. Soal MK sendiri, MK sudah bisa melakukan judicial review terhadap perppu," papar Dr Aris.

Persoalan Perppu Cipta Kerja dengan Putusan MK

Dr Aris juga menyorot persoalan Perppu Cipta Kerja dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut merupakan putusan yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, ada pertentangan yang terjadi antara putusan tersebut dengan Perppu Cipta Kerja.

Jelasnya dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, terdapat dua poin terhadap UU Cipta Kerja, yaitu formil dan materiil.

"Persoalan formil, telah dijawab oleh legislator melalui revisi terhadap Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sementara itu, materiil pada aspek meaningful participation. Konsep itu merupakan konsep partisipasi sesungguhnya yang melibatkan pihak terdampak dan pihak yang memiliki perhatian," papar Dr Aris.

Dalam persoalan materiil itu, Dr Aris merasa terbitnya Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Ia merasa bahwa mustahil adanya partisipasi masyarakat pada pembentukan Perppu. Itu mengingat perppu merupakan produk hukum yang dikeluarkan di situasi darurat.

"Dalam hal ini, Perppu Cipta Kerja berseberangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal itu karena kalau produk hukum berupa perppu, tidak mungkin meaningful participation terwujud. Apabila terjadi situasi yang genting, tidak mungkin aspirasi menjadi penting, saya melihat ada pertentangan di sini. Perppu tidak ideal untuk memberi ruang partisipasi bagi masyarakat," tegas Dr Aris.



Simak Video "Detik-detik Gedung DPRD Sumut Dilempari Telur-Tomat oleh Massa Demo"
[Gambas:Video 20detik]
(nir/nwk)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia