Satelit nano pertama buatan Indonesia berhasil diluncurkan pada Jumat (6/1) dari International Space Station (ISS) menuju orbit LEO (Low Earth Orbit). Satelit bernama Surya Satelit 1 atau SS-1 itu berbeda dengan satelit konvensional. Apa bedanya?
Satelit nano SS-1 ini berukuran 10x10x11,35 cm dengan berat 1-1,3 kg. Nantinya, SS-1 akan berfungsi sebagai APRS (Automatic Package Radio System) untuk kebutuhan Radio Amatir dari Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI) dan juga dapat difungsikan untuk komunikasi dan deteksi kebencanaan.
Dirancang oleh tim dari Surya University sejak 2016, satelit nano ini berbeda dengan satelit biasa. Menurut Project Leader Setra Yoman Prahyang, ada beberapa perbedaan antara satelit nano dengan satelit biasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbedaan Satelit Nano dengan Satelit Biasa
1. Ukuran
Satelit nano berbeda dengan satelit konvensional atau biasa. Satelit konvensional bisa memiliki massa ribuan kilogram. Contohnya adalah satelit GOES-R dengan berat 2.800 kg dari National Oceanic & Atmospheric Administration (NOAA). Berbeda dengan satelit nano SS-1 yang ukurannya jauh lebih kecil.
"Satelit konvensional itu satelit yang besar-besar skala ukurannya meter gitu kan. Kalau kita ya mungkin sepertiganya. Bisa kita lihat juga ukurannya 10 cm. Bentuknya kurang lebih kayak kubus kecil," jelas Setra dalam Pelepasan Surya Satelit-1 dari International Space Station yang disiarkan langsung via Youtube BRIN Jumat (6/1/2023).
2. Lebih Mudah Dibuat
Ukurannya yang lebih kecil membuat satelit nano lebih mudah dibuat. Berbeda dengan satelit konvensional, satelit tersebut lebih sulit dibuat karena manufaktur dan desainnya yang rumit.
"Kalau misalnya konvensional itu complicated banget. Itu butuh profesional. Dari sisi mekaniknya, elektroniknya, integrasinya, banyaklah complex," jelasnya.
Namun dengan satelit nano, pembuatan lebih mudah terlebih bagi anggota tim dari Surya University yang saat itu masih berstatus mahasiswa.
"Lebih bisa dijangkau dari perspektif sebagai mahasiswa," ungkap Setra.
3. Daerah Orbit
Terakhir, satelit nano juga mengorbit di daerah yang lebih rendah dibanding satelit konvensional. Pada satelit konvensional, seperti dijelaskan dalam satelit konvensional bisa mengorbit pada wilayah 160 hingga 2.000 km. Sedangkan satelit nano berada di low Earth orbit.
"Berarti dia bisa berkeliling Bumi dan bisa imagery. Misalnya dia bisa imagering nggak hanya Indonesia tapi bisa skala internasional," jelasnya.
Tentang Satelit SS-1 Karya Mahasiswa RI
Awalnya, satelit nano SS-1 itu telah dirancang sejak Maret 2016 oleh tim mahasiswa dari Surya University. Kemudian pada Februari 2018, tim SS-1 mengikuti sayembara program KiboCube yang diinisiasi oleh United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).
Sayembara yang terbuka untuk tim satelit di seluruh dunia itu bertujuan untuk meningkatkan kapasitas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa. Kerja keras nan cerdas yang berbuah nasib baik untuk tim SS-1, pada Agustus 2018 tim asal Indonesia itu dinyatakan sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah berupa peluncuran satelit nano dari ISS secara gratis.
Adapun tim beranggota tujuh orang ini terdiri dariHery StevenMindarno,SetraYomanPrahyang, MZulfaDhiyaulfaq,Suhandinata,AfiqHerdikaSulistya, Roberto Gunawan, danCorreyAnantaAdhilaksma.
Setelah diumumkan menjadi pemenang sayembara, tim melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan Pusat Teknologi Satelit LAPAN (sekarang Pusat Riset Teknologi Satelit-BRIN), untuk bimbingan pembuatan nanosatelit, pengadaan berbagai komponen 'Space Grade', dan pemakaian alat pengujian yang diperlukan dalam pembuatan SS-1. Sejak saat itulah SS-1 melewati berbagai proses pengembangan.
Baru pada Jumat (6/1), satelit nano pertama Indonesia diluncurkan.
(nir/nwk)