Studi mendapati bahwa manusia merupakan predator puncak selama 2 juta tahun. Selama itu, garis keturunan Homo (manusia) menjalani hidup sebagai hiperkarnivora. Lantas, bagaimana caranya manusia kini menjadi pemakan daging dan juga tumbuhan?
Evolusi manusia ini diinvestigasi Miki Ben-Dor, Raphael Sirtoli, dan Ran Barkai dengan fokus pada masa Pleistosen. Periode ini dimulai 2,5 juta tahun lalu dan berakhir sekitar masa revolusi pertanian, sekitar 11.000 tahun lalu.
Penelitian Ben-Dor dkk menemukan bukti hiperkarnivora tersebut lewat keasaman lambung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menjelaskan, fakta bahwa perut manusia modern lebih asam daripada kebanyakan karnivora saat ini menunjukkan bahwa nenek moyang manusia sudah beradaptasi dengan baik agar bisa makan daging hewan besar yang mereka buru, seperti dikutip dari IFL Science.
Sebab, daging hewan besar atau super besar dapat menjadi santapan kelompok manusia saat itu selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Namun karena alasan yang sama, daging tersebut juga akan dikerumuni bakteri.
Dijelaskan Ben-dor dkk dalam The Evolution of the Human Trophic Level During the Pleistocene, keasaman lambung adalah ciri khas hewan karnivora. Sebab, keasaman lambung memungkinkan patogen penyebab penyakit dalam daging jadi mati.
Rekonstruksi Pola Makan Manusia Purba
Dalam penelitian yang dipublikasi di American Journal of Physical Anthropology ini, Ben-dor dkk mencoba merekonstruksi pola makan manusia purba dan menentukan tingkat trofik nenek moyang manusia sepanjang Pleistosen
Tingkat trofik adalah urutan tingkat pemanfaatan pakan, materia, atau energi seperti yang digambarkan di rantai makanan.
Tim peneliti ini lalu memeriksa lebih dari 400 studi ilmiah dengan pendekatan multisiplin, mencakup bidang genetika, metabolisme, morfologi, arkeologi, dan paleontologi untuk menentukan apakah manusia purba adalah karnivora atau omnivora.
Penelitian mereka didukung dengan temuan bahwa Homo erectus punya bahu ideal untuk melempar tombak, tetapi tidak cocok untuk memanjat pohon.
Adaptasi morfologi ini menunjukkan bahwa spesies tersebut mungkin lebih banyak makan daging dan berburu megafauna ketimbang makan dari sumber nabati.
Ben-Dor menggarisbawahi, bukti arkeologi yang mereka temukan juga mendapati bahwa manusia purba tetap makan tumbuhan, kendati porsinya lebih sedikit.
"Bukti arkeologi tidak mengabaikan fakta bahwa manusia zaman batu juga mengonsumsi tumbuhan. Namun menurut temuan penelitian ini, tumbuhan hanya menjadi komponen utama makanan manusia menjelang akhir zaman," tuturnya.
Dari Hiperkarnivora Beralih ke Omnivora
Penelitian juga mendapati bahwa gen yang membantu pencernaan asam tumbuhan dan pati tidak berkembang secara luas dalam genom manusia hingga akhir masa Pleistosen.
Namun, saat sumber hewani semakin langka, aktivitas perburuan yang sudah terjaga di masa itu jadi menurun.
Manusia pun pelan-pelan beralih ke pola makan nabati, mengonsumsi lebih banyak tumbuh-tumbuhan dan mengalami usia hidup yang lebih panjang.
Menurut para peneliti, peralihan ke pola makan yang lebih omnivora memicu munculnya pertanian, kendati dinilai terlambat. Pertanian inilah yang diduga menyebabkan perubahan jenis alat batu yang digunakan manusia purba.
Catatan arkeologi mendapati, alat yang terkait pengolahan hasil pertanian baru muncul sekitar 40.000 tahun lalu. Sebelumnya, sebagian besar alat dirancang untuk berburu. Artefak ini ditemukan di semua wilayah yang dihuni manusia.
(twu/faz)