Shoichi Yokoi berusia 26 tahun saat diajari bahwa menyerah adalah kemungkinan terburuk yang dilakukan seorang tentara. Dari satu ajaran ini, prajurit Jepang ini lalu bersembunyi 27 tahun di gua yang ia gali sendiri di Guam, sebelah barat Samudera Pasifik.
Yokoi direkrut Angkatan Darat Jepang pada 1941 untuk Perang Dunia II.
Semula, Yokoi yang sudah menjadi prajurit Jepang melarikan diri dan bersembunyi di hutan selama invasi Amerika Serikat ke Guam, Oseania, Juli 1944. Saat itu, AS menyerbu Guam sebagai bagian dari serangan ke Jepang di Pasifik, seperti dikutip dari BBC World.
Pertempuran tersebut menimbulkan banyak korban di kedua sisi. Ketika komando Jepang terpecah, prajurit seperti Yokoi dan rekan-rekan di peletonnya harus berjuang menyelamatkan diri masing-masing.
Alhasil, Yokoi dan sekitar 127 prajurit Jepang tidak langsung tahu bahwa Jepang menyerah kalah pada Sekutu pada 14 Agustus 1945, atau secara formal pada 2 September 1945.
Beberapa di antara mereka kelak ditangkap oleh tentara AS. Beberapa di antaranya memilih tidak pulang ke Jepang karena takut dianggap sebagai pembelot dan dihukum mati, seperti dikutip dari Atlas Obscura.
Satu kelompok berisi 10 prajurit semula bersembunyi di hutan, termasuk Yokoi. Namun, sadar bahwa ramai-ramai justru berisiko ditangkap, tujuh di antaranya berangkat ke daerah lain. Tiga yang tersisa, termasuk Yokoi, mundur jauh ke dalam hutan.
Yokoi dan kedua temannya bersembunyi dalam tempat terpisah, namun, tetapi tetap saling mengunjungi. Kopral tombak ini juga percaya, rekannya sesama tentara kelak akan kembali untuk menjemputnya.
Karena itu, ia dan kedua temannya menetapkan diri untuk bersembunyi di wilayah Inarajan, Guam dari kondisi bahaya sampai waktunya keluar.
"Sejak awal mereka sangat berhati-hati agar tidak terdeteksi, menghapus jejak kaki mereka saat bergerak melalui semak belukar," kata Omi Hatashin, keponakan Yokoi yang menyusun kisah pamannya dalam memoar Private Yokoi's War and Life on Guam, 1944-1972.
Bertahan Hidup di Dalam Gua Buatan
![]() |
Gua tersebut dibuat Yokoi di dekat air terjun Talofofo sehingga dekat sumber air. Lokasinya sekitar 2 meter dari permukaan tanah, dengan panjang 2,7 meter.
Ia lalu menutupi jalan masuk liang buatannya dengan bambu dan alang-alang. Sedikit bukaan digunakan untuk jalan masuk udara. Di sana, ia bersembunyi sepanjang hari dan menyimpan barangnya.
Sebelum ditugaskan ikut Perang Dunia II, Yokoi adalah seorang penjahit. Keterampilannya membantu Yokoi membuat tempat tinggal dan pakaian dari alat tenun bikinan sendiri dan serat lokal kulit kembang sepatu.
Kesibukan ini membantu Yokoi tidak terlalu kepikiran soal kesulitannya dan keluarganya di rumah untuk bertahan selama puluhan tahun.
Agar tidak mati kelaparan, ia mencari makan hewan-hewan kecil yang bisa ditemukannya di sekitar. Yokoi hanya meninggalkan gua di malam hari agar aman. Sementara itu, ia tidak pernah memasak atau menyalakan api di dalam guanya di siang.
Kadang ia makan katak, kadang belut, kadang tikus. Ia membuat perangkap belut dari alang-alang liar untuk menangkap belut. Jika beruntung, ia juga makan buah-buahan dan kacang-kacangan.
![]() |
Sebelum masuk gua, ia dan rekannya yang tersisa beberapa puluh orang saja menangkap dan makan ternak setempat yang mereka temukan. Namun, karena takut terdeteksi pemburu lokal dan tentara AS, mereka pelan-pelan makin masuk ke dalam hutan.
Menguburkan Teman Sendiri
Delapan tahun sebelum ditemukan, Yokoi menguburkan sendiri dua rekannya yang meninggal di persembunyian tahun 1964.
Semula, mereka mendengar kabar bahwa perang sudah usai pada 1952. Namun, karena tidak yakin dan takut ditangkap, mereka memutuskan untuk tetap bersembunyi.
Suatu hari sekitar 1964, Yokoi mengunjungi dua rekannya. Namun, kedua rekannya ditemukan tewas. Beberapa sumber menyebutkan temannya tewas karena banjir, beberapa lagi karena kelaparan.
Karena sedih, ia berusaha mengalihkan pikirannya pada ibunya yang sudah lanjut usia di rumah.
"Tidak ada gunanya membuat hatiku sakit dengan memikirkan hal-hal seperti itu," tulisnya dalam memoar.
Yokoi pun menguatkan hatinya agar tidak putus asa saat sakit parah di hutan. Ia pun menulis, "Tidak! Saya tidak boleh mati di sini. Saya tidak boleh memperlihatkan mayat saya kepada musuh. Saya harus kembali ke lubang saya untuk mati. Sejauh ini saya berhasil, bertahan hidup, tetapi akan sia-sia sekarang (jika menyerah)."
Ditemukan
Hampir 28 tahun kemudian, di usia kepala 5, Yokoi ditemukan dua nelayan di dekat sungai pada 24 Januari 1972. Ia yang yakin bahwa hidupnya masih dalam bahaya segera menyerang para nelayan asing tersebut.
Yokoi mencoba merebut salah satu senapan mereka. Namun, karena tubuhnya lemah, kedua pemburu bisa mengamankannya.Yokoi lalu meminta ia agar dihabisi saja, tetapi malah diselamatkan.
"Dia benar-benar panik (saat ditemukan)" kata Hatashin.
"Dia takut mereka akan membawanya sebagai tawanan perang - itu akan menjadi rasa malu terbesar bagi tentara Jepang dan keluarganya di rumah," imbuhnya.
Nelayan itu memberitahunya bahwa perang sudah berakhir beberapa dekade lalu. Yokoi lalu dibawa ke pihak berwenang dan dirawat di rumah sakit di Guam sebelum direpatriasi ke Jepang, yang sudah tidak dilihatnya selama selama 30 tahun.
Pemulangan Yokoi
Mendapat kabar keberadaan Yokoi yang masih tertinggal di Guam, perwakilan pemerintah Jepang terbang ke pulau tersebut. Yokoi pun dibawa ke Tokyo pada Februari 1972. Ia duduk di atas kursi roda tubuhnya masih menjalani masa pemulihan.
Di Tokyo, Yokoi menangis saat disambut hampir 5.000 orang yang bertepuk tangan atas kepulangannya ke Tanah Air.
Yokoi lalu rutin diundang ke radio, televisi, menjadi narasumber surat kabar, universitas, dan sekolah di penjuru Jepang.
"Saya sangat bangga padanya. Dia adalah orang yang pemalu dan pendiam, tetapi dengan kehadiran yang luar biasa," kata Hatashin.
Adaptasi dengan Kehidupan Jepang Modern
Sepanjang sisa hidupnya, Yokoi mengaku kesulitan menyesuaikan diri untuk hidup di Tokyo yang sudah jauh berubah. Ia mengaku tidak terkesan dengan perkembangan ekonomi pascaperang, melihat bagaimana mata uangnya kini tidak lagi berharga lewat munculnya uang kertas 10.000 yen.
Setelah diselamatkan, Yokoi beberapa kali terbang ke kembali ke Guam, salah satunya untuk berbulan madu dengan bibi Hatashin.
Yokoi kelak meninggal di usia 82 tahun. Gua aslinya dilindungi sebagai monumen bersejarah, tetapi runtuh. Sebagai gantinya, sebuah replika gua didirikan bersama dengan sebuah kuil dan tugu peringatan untuk tiga orang Jepang yang tersesat terakhir.
Beberapa barang Shoichi Yokoi dari waktu di dalam gua dapat dilihat di museum di pintu masuk Taman Resor Air Terjun Talofofo, termasuk perangkap belutnya, seperti saat prajurit Jepang ini bersembunyi di gua karena Perang Dunia II.
Gua Yokoi di Talofofo buka setiap hari dari jam 8 pagi hingga 5 sore. Dari pintu masuk taman, ada kereta gantung ke Air Terjun Talofofo. Dari situ, pengunjung bisa jalan kaki ke gua atau naik monorel untuk mengenang jejak Yokoi.
Simak Video "Persyaratan Jadi Tentara Amerika, WNA Bisa Daftar"
[Gambas:Video 20detik]
(twu/nwk)