Sejarah Gedung DPR/MPR, Dikira Mirip Kura-kura tapi Ternyata..

ADVERTISEMENT

Sejarah Gedung DPR/MPR, Dikira Mirip Kura-kura tapi Ternyata..

Putri Tiah - detikEdu
Minggu, 20 Nov 2022 09:00 WIB
Kubah hijau gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta
Kubah hijau gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta Foto: Tri Aljumanto/detik
Jakarta -

Salah satu bangunan bersejarah di ibu kota Jakarta adalah gedung DPR/MPR. Sebuah gedung dengan kubah warna hijau yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto, Senayan.

Selama ini kubah tersebut selalu diasosiasikan dengan tempurung kura-kura. Maka jangan heran kalau bangunan ini ada yang menyebut dengan "Gedung Kura-kura". Nah, benarkah kubah itu berbentuk kura-kura?

Seperti diketahui, gedung DPR/MPR merupakan saksi beragam peristiwa sejarah bangsa ini. Salah satunya peristiwa yang tak pernah dilupakan oleh masyarakat Indonesia peristiwa reformasi pada tahun 1998.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ribuan mahasiswa berunjuk rasa dan menduduki atap gedung DPR/MPR menuntut dilengserkannya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan menjadi saksi berakhirnya masa pemerintahan orde baru.

Lalu bagaimana awal mula berdirinya Gedung DPR/MPR RI yang sudah berjalan selama 57 tahun? Berikut simak penjelasan lengkapnya.

ADVERTISEMENT

Sejarah Gedung DPR/MPR RI

Penjelasan sejarah mengenai didirikannya gedung DPR/MPR RI mengutip dari buku Majelis Permusyawaratan Rakyat, Republik Indonesia oleh Sejarah, Realita dan Dinamika (2006) terbitan Setjen MPR RI.

Penggagas berdirinya Gedung DPR/MPR RI datang dari Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden No. 48 pada tahun 1965.

Pada masa itu Presiden Soekarno menugaskan Menteri Pekerja Umum Dan Tenaga, Soeprajogi untuk melakukan pembangunan gedung yang akan digunakan sebagai tempat diselenggarakan Conference of The New Emerging Forces (Conefo) pada 1966.

Conefo merupakan konferensi internasional yang mendukung gagasan pembentukan tatanan dunia baru. Selain itu, pembentukan Conefo yang diselenggarakan oleh Bung Karno ini, akan bersaing dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Beberapa negara yang keikutsertaan menghadiri Conefo ini diantaranya negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara sosialis, negara komunis serta kekuatan progresif kapitalis.

Presiden Soekarno meminta proyek pembangunan gedung memiliki kepribadian khas Indonesia. Bangunan juga harus menjawab datangnya tantangan zaman selama beberapa tahun ke depan dan menampilkan kemegahan.

Sebelumnya dimulainya proyek pembangunan Conefo, pemerintah membuka sayembara rancangan bangunan sesuai dengan permintaan Soekarno.

Proyek dikerjakan oleh pemenang sayembara, Sujudi Wirjoatmodjo yang mengetuai tim Departemen Pekerjaan Umum Dan Tenaga Listrik. Ia merupakan arsitek lulusan Technische Universitat Berlin Barat.

Pemasangan tiang pertama pada 19 April 1965. Tanggal 17 Agustus 1966 merupakan batas akhir penyelesaian pembangunan. Namun, pembangunan terhenti karena pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan penyelenggaraan Conefo dibatalkan.

Pembangunan yang mangkrak pada masa pemerintahan Soekarno kembali dilanjutkan pada masa pemerintahan Soeharto. Perlunya memiliki sebuah gedung permanen yang digunakan secara layak, sebagai tempat persidangan para wakil rakyat.

Melewati proses pembangunan yang cukup panjang, akhirnya pembangunan Gedung MPR/DPR RI berhasil rampung pada 1 Februari 1983. Gedung ini mempunyai kompleks seluas sekitar 80.000 meter persegi.

Gedung-gedung dalam komplek parlemen pada mulanya dinamai menggunakan bahasa Sanskerta

Kubah Berbentuk Kura-kura?

Lantas bagaimana dengan bentuk kubah berwarna hijau di Gedung Nusantara yang merupakan gedung utama dalam kompleks MPR/DPR/DPD? Menurut kamu apakah benar serupa dengan hewan kura-kura?

Rupanya kubah dengan bentuk setengah lingkaran itu bukan melambangkan kura-kura. Namun, kepakan sayap burung yang akan lepas landas.

Dikutip dari buku Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sejarah, Realita, dan Dinamika (2006), gedung DPR/MPR memiliki struktur dan konstruksi khas.

Struktur atap gedung DPR/MPR yang menyerupai kepakan sayap burung garuda merupakan penggabungan dua bagian kubah. Bentuk atap itu disebut muncul secara tidak sengaja dan waktu itu belum pernah diciptakan di seluruh dunia.

Pembangunan kubah hijau tanpa pilar-pilar penyangga di bawahnya juga melibatkan Ir. Sutami.

Selanjutnya, Pengecoran Kubah Melibatkan 27 Ribu Orang

Pengecoran Kubah Melibatkan 27 Ribu Orang

Atap gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap. Dikutip dari detikX "Jejak Sutami di Gedung MPR/DPR", semula atap akan berbentuk kubah murni. Tapi Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan hal itu akan memunculkan masalah serius.

Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah. Satu saja di antara tiang tersebut melorot akan menimbulkan akibat berantai. Seluruh kubah bakal mengalami keretakan, pecah, dan akhirnya runtuh.

Selain itu, pemakaian kubah murni memerlukan banyak tiang penyangga, yang akan mengganggu pembagian ruang-ruang sidang di lantai dasar.

Dalam keadaan mendesak, Soejoedi menugasi Nurpontjo untuk membikin maket kubah alternatif. Sebagai insinyur muda yang baru lulus dari ITB, Nurpontjo pun kelabakan.

Hingga suatu saat dia memotong cetakan kuali untuk kue serabi menjadi dua bagian. Tujuannya adalah menghasilkan bentuk kubah yang tidak retak. Percobaan belum tuntas, Soejoedi telanjur datang dan melihatnya.

"Wah, bagus ini! Akan saya tanyakan kepada Pak Sutami sebagai pelaksana teknis apakah bentuk seperti ini bisa terealisasi," ujar Nur mengenang seperti ditulis Intisari edisi Oktober 1991.

Ternyata Sutami, yang kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya, menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda dengan prinsip struktur kantilever pada pesawat tebang.

Dia malah berani menjamin, dengan bentangan 100 meter pun, bentuk struktur ini masih dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, yang berfungsi sebagai badannya adalah dua buah busur beton yang dibangun berdampingan dan akan bertemu pada satu titik puncak.

"Ketika pengecoran atap kubah, tak kurang dari 27 ribu orang terlibat langsung siang-malam seperti armada semut,"tutur Nurpontjo.

Keberhasilan Sutami sebagai pelaksana proyek dan juga turut andil dalam merealisasi atap berbentuk kubah mengundang pujian dari gurunya semasa di ITB, Ir Roosseno. Ahli beton itu mengakui gedung Conefo sebagai karya besar Sutami.

"Kehebatan dia adalah kemampuan organisatorisnya. Membangun gedung sebesar itu, dengan bentuk kubah raksasa yang unik, pengalaman belum dimilikinya, dan dengan segala keterbatasan pada waktu itu, ditambah lagi dengan singkatnya waktu yang diberikan oleh Bung Karno, adalah sebuah tantangan besar bagi seorang insinyur muda seperti Sutami,"tutur Roosseno seperti diceritakan kembali oleh Hendropranoto Suselo, yang pernah menjadi salah satu staf Sutami di Departemen Pekerjaan Umum.

Perubahan Nama Pada Gedung MPR/DPR RI

Berdirinya masa reformasi segala sesuatu yang berhubungan dengan orde baru dicoba diredam di Indonesia. Salah satu mengganti nama-nama gedung yang semula dinamai menggunakan bahasa Sanskerta, dilakukan usulan perubahan untuk menyederhanakan nama-nama gedung MPR/DPR RI

Pada tanggal 14 Desember 1998 memutuskan penggantian nama gedung-gedung MPR/RI sebagai berikut:

1. Gedung Grahatama diubah menjadi Gedung Nusantara,

2. Lokawirasabha Tama menjadi Gedung Nusantara I

3. Grahanaga menjadi Gedung Nusantara II

4. Lokawirasabha menjadi Gedung Nusantara III

5. Pustaloka menjadi Gedung Nusantara V

6. Samania Sasangraha menjadi Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI

7. Mekanik Graha menjadi Gedung Mekanik

8. Gedung Balai Kesehatan (tetap)


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads