Merespons situasi tersebut, pakar Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Rahayu SIP MSi MA berpendapat bahwa migrasi dari TV analog ke TV digital memang diperlukan.
Ia menjelaskan, migrasi ke TV digital di tengah masyarakat majemuk dan demokrasi dapat memberikan ruang yang lebih luas bagi kemunculan diversity of content (keberagaman konten), diversity of perspectives (keberagaman sudut pandang), dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan).
"TV-TV yang ada sudah terlanjur dikuasai oleh sejumlah konglomerat media tidak bisa diharapkan lagi. Perlu kehadiran TV-TV 'baru' yang dapat menyajikan konten yang lebih beragam, kreatif, dan mendidik," ujarnya, di Fisipol UGM, dikutip dari laman kampus, Selasa (8/11/2022).
Ia menuturkan, kualitas audio-visual siaran TV digital juga dapat jauh lebih bagus dibandingkan dengan TV analog.
Di sisi lain, kata Rahayu, jika perencanaan migrasi tidak dilakukan dengan hati-hati, masyarakat akan kehilangan haknya untuk dapat mengakses siaran TV.
Migrasi TV Analog ke TV Digital, Apa Pentingnya?
1. Saluran TV Baru yang Hadirkan Keberagaman
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM) ini mengatakan, TV digital dapat memicu munculkan keberagaman konten, keberagaman sudut pandang, dan keberagaman kepemilikan lewat hadirnya konten atau saluran TV baru.
Ia menekankan, keberadaan 'TV baru' dapat terjadi jika kebijakan pemerintah dapat menjamin kehadiran pemain-pemain baru di pertelevisian Indonesia.
2. Layanan Komunikasi Bencana
Jumlah spektrum frekuensi yang banyak pada TV digital juga memungkinkan pengembangan layanan komunikasi bencana Indonesia. Layanan ini sebelumnya sudah diterapkan di Jepang.
"Seperti di Jepang, komunikasi terkait mitigasi bencana memanfaatkan penyiaran televisi untuk dapat menjangkau masyarakat luas," sebutnya.
3. Penyiaran Komunitas dan Publik yang Cenderung Terabaikan
Rahayu menjelaskan, jumlah spektrum frekuensi digital yang berlipat dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menyelenggarakan penyiaran. Khususnya yakni dalam penyiaran komunitas dan penyiaran publik yang selama ini cenderung terabaikan.
Ia menggarisbawahi, pemanfaatan ke arah ini juga bergantung pada kebijakan pemerintah yang mengatur alokasi frekuensi untuk jenis penyiaran tersebut.
Dengan demikian, jumlah spektrum frekuensi digital yang sangat banyak dapat memenuhi kebutuhan penyiaran, baik penyiaran oleh masyarakat, munculnya saluran TV baru, maupun tersedianya layanan komunikasi bencana. Kondisi ini berbeda dengan frekuensi analog selama ini, yang tidak mampu memenuhi permintaan pendirian TV baru.
"Bagaimanapun migrasi ke TV digital menawarkan lebih banyak variasi konten dan layanan komunikasi lainnya di luar penyiaran. Bagi pemerintah, migrasi ke TV digital juga berpotensi meningkatkan pendapatan nasional," terangnya.
4. Muncul Usaha Baru, Buka Lapangan Kerja
Ia menambahkan, migrasi ke TV digital juga memicu usaha-usaha baru yang membuka lapangan kerja. Industri terkait TV digital ini antara lain pengelolaan multiplexing, produksi set-top-box (STB), pesawat TV digital, content provider, dan lain-lain.
Problem Perpindahan TV Analog ke TV Digital
1. Biaya dan Beban Investasi
Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini menuturkan, jika perpindahan siaran TV analog ke TV digital dilakukan dengan hati-hati, masyarakat berisiko kehilangan haknya untuk dapat mengakses siaran TV.
Sebab, dalam prosesnya, ada risiko infrastruktur TV digital belum siap, pengelola TV analog belum mengadopsi teknologi digital, serta masyarakat belum mampu membeli perangkat yang dapat mengakses TV digital. Dengan kata lain, beban dapat dirasakan masyarakat hingga pengelola TV sendiri.
Ia menjelaskan, pengelola TV lokal harus menyewa multipleks atau mux dengan pendapatan terbatas. Mux adalah pengelompokan layanan siaran dalam bentuk paket data yang disisipkan untuk disiarkan melalui jaringan multipleks atau pemancar yang punya kelompok layanan saluran TV tersebut.
"Migrasi memberikan beban investasi yang besar bagi penyelenggara TV analog, terutama TV-TV lokal. Pengelolaan TV lokal merasa terbebani karena sewa mux (multipleks) yang mahal, sementara pendapatan yang terbatas. TV lokal juga tidak sepenuhnya merasa aman karena mereka bergantung pada pengelolaan mux untuk dapat bersiaran," tutur Rahayu.
2. Pengetahuan soal Manfaat TV Digital Belum Rata
Rahayu mendapati, pengetahuan tentang TV digital dan apa itu migrasi ke digital juga masih belum merata. Sementara itu, dari pengamatannya, masyarakat lebih tahu informasi terkait teknis, seperti penggunaan set-top-box untuk dapat mengakses TV digital.
Rahayu mengatakan, masyarakat juga perlu paham cara memanfaatkan TV digital. Sebab, ada banyak channel dan layanan komunikasi yang akan hadir.
Ia mengingatkan, sosialisasi perpindahan TV masih perlu dilakukan secara intensif. Masyarakat juga perlu tahu apa rencana pemerintah dalam memanfaatkan spektrum frekuensi yang ditinggalkan, ketika TV analog pindah ke TV digital.
"Migrasi berpotensi menghadirkan keragaman konten dan sebagainya. Namun, ketika mux sebagian besar dikuasai oleh TV-TV 'Jakarta' atau TV-TV yang menjadi jaringannya, masyarakat perlu tahu kemungkinan hal ini (keberagaman) tidak akan bisa hadir," jelasnya.
"Saya berharap masyarakat juga perlu aktif dan kritis dalam menyikapi konten TV digital agar tercipta kualitas penyiaran yang semakin baik," sambung Rahayu.
3. Bantuan Akses TV Digital
Rahayu menilai, pemerintah perlu memastikan distribusi STB menjangkau masyarakat. Jika ada, bisa jadi tidak sesuai dengan standard set-top-box yang ditetapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Harapan kita, pemerintah perlu memastikan distribusi set-top-box menjangkau masyarakat yang memerlukan. Pemerintah perlu membantu penyelenggara TV lokal dan TV komunitas untuk dapat migrasi ke TV digital," tuturnya.
"Bantuan atau subsidi perlu diberikan untuk dapat menjaga eksistensi mereka. Selain itu, pemerintah juga perlu terus mengembangkan infrastruktur agar siaran TV digital dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia," imbuh Rahayu.
(twu/nwk)