Banyak yang beranggapan bahwa aksi Bjorka merupakan bentuk demonstrasi atau protes dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Tak jarang juga yang mengecam tindakan penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh Bjorka.
Menurut Pakar Unair Komunikasi Digital Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Prof Dra Rachmah Ida MCom PhD mengatakan peretasan oleh Bjorka bukanlah bentuk protes atau demonstrasi modern. Menurutnya, aksi Bjorka adalah fenomena peretasan yang sudah terjadi sejak lama.
"Kita ingat ada Julian Assange, pendiri WikiLeaks, yang membocorkan rahasia-rahasia Gedung Putih. Yang dilakukan Julian Assange pada saat itu membuka mata dunia, apabila data tidak secure akan mudah di-hack. Jadi, fenomena Bjorka ini adalah fenomena hacking," ujar Prof. Rachmah dalam laman resmi Unair, Rabu (21/9/2022).
Bukan Demonstrasi Tapi Cyber Crime
Dosen media dan komunikasi politik itu menerangkan, adanya kebocoran data para pejabat tinggi Indonesia membuktikan data security di Indonesia masih sangat lemah. Menurutnya, kasus E-KTP yang pada akhirnya dikorupsi menunjukkan keamanan data pribadi tidak bisa dijaga dan dijamin oleh negara.
"Jadi, ini bukan bentuk demonstrasi. Demonstrasi artinya menyuarakan kepentingan kelompok atau masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat," imbuhnya.
Demonstrasi, ucap Prof Rachmah, dijamin dalam negara demokrasi dan tercantum dalam First Amendment, yaitu berupa freedom of speech. Ia menegaskan peretasan Bjorka adalah cyber crime.
Kritikan Tidak Boleh Menyerang Personal
Prof Rachmah menuturkan cyber law atau hukum siber melarang hacking, scam, cyber crime, cyber bully, dan sebagainya. Tetapi, apabila ada orang menyuarakan aspirasinya harus dihargai karena hak tersebut dijamin undang-undang. Namun, ia menyayangkan UU ITE saat ini justru dijadikan penjerat bagi orang-orang yang tidak terima dengan kebebasan berpendapat orang lain.
"Teknologi digunakan untuk menyampaikan aspirasi itu sah-sah saja. Kita boleh mengkritik, tetapi tidak boleh bersifat personal. Misalnya, mengatai orang jelek, gemuk, dan lain-lain. Itu namanya diskriminasi. Kalau mengkritisi pelayanan publik suatu institusi ya boleh," terangnya.
"Bjorka menulis kritikan di Twitter, kemudian di-suspend oleh pemerintah Indonesia. Ini memang tidak baik, tetapi Indonesia masih mencari bentuk demokrasi. Maka hal-hal semacam yang dilakukan Bjorka ini dianggap melanggar," tutupnya.
(nir/lus)