Rekonstruksi pada kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J digelar hari ini, Selasa 30 Agustus 2022. Rekonstruksi kasus Brigadir J digelar di dua tempat, yakni di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, di Kompleks Polri, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan dan juga rumah pribadi Ferdy Sambo, Jalan Saguling III, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Nah, belajar dari proses kasus ini, tahukah detikers bagaimana proses rekonstruksi itu dan apa fungsinya dalam penyidikan polisi?
Pertama terlebih dahulu perlu memahami bahwa rekonstruksi adalah peragaan ulang (tentang perbuatan yang lalu) atau hal menyusun (membangun) kembali seperti semula.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam laman resmi Polri dijelaskan proses penyelenggaraan rekonstruksi oleh penyidik berdasar pada Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.Skep/1205/IX/2000.
Surat Keputusan Kapolri itu berisi tentang revisi himpunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis proses penyidikan tindak pidana. Pada bagian Bab III tentang pelaksanaan, angka 8.3.d, yaitu interview (wawancara), interogasi, konfrontasi, rekonstruksi.
Proses Rekonstruksi pada Sebuah Kasus
Dikutip dari panduan Bareskrim Polri tentang standar operasional prosedur pemeriksaan saksi, ahli dan tersangka, rekonstruksi teknik dalam metode pemeriksaan, pemeriksaan dilakukan tim penyidik untuk gambaran tentang terjadinya tindak pidana secara memperagakan kembali perbuatan tersangka.
Rekonstruksi dilakukan untuk lebih meyakinkan pemeriksa tentang kebenaran tersangka atau saksi.
Dalam buku Aksara Presisi Membangun POLRI oleh Irjen Pol. Dr. Dedi Prasetyo, M.Hum., M.Si., M.M. dijelaskan bahwa rekonstruksi hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.
Seperti rekonstruksi pada kasus pembunuhan, pencurian, dan perampokan yang dilakukan untuk mempertegas modus dan cara pelaku melakukan kejahatannya.
Hal ini dikarenakan terkadang bahasa lisan sulit untuk dicerna penyidik, sehingga apabila dijelaskan dalam bentuk nyata, dapat lebih jelas diterima oleh penyidik, sehingga pada akhirnya mempermudah jaksa dan hakim.
Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah, rekonstruksi bukan merupakan keharusan dalam memeriksa suatu perkara pidana.
Fungsi Rekonstruksi
Jika dilihat dari sisi kepentingan dan manfaatnya, rekonstruksi sendiri tidak selalu diperlukan dalam mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana. Produk akhir dari rekonstruksi adalah berupa Berita Acara Rekonstruksi.
Karenanya keberadaan rekonstruksi lebih berfungsi sebagai sebuah visualisasi dari BAP yang telah ada dan menambah keyakinan penyidik atau penegak hukum lainnya, sehingga hanya diperlukan pada kasus tertentu saja.
Dalam melakukan proses penyidikan kasus tertentu, penyidik terlebih dahulu perlu melakukan pilihan rasional mengenai perlu atau tidaknya dilakukan rekonstruksi.
Termasuk apa manfaat dan kepentingan dari dilakukannya rekonstruksi tersebut baik bagi pengungkapan kasus maupun rasa keadilan dari perspektif berbagai stakeholders seperti pemerintah, masyarakat maupun penegak hukum lainnya.
Selanjutnya penyidik juga perlu berpikir secara rasional untuk menerapkan biaya pelaksanaan rekonstruksi yang efisien dengan biaya yang dapat diminimalisasi.
Rekonstruksi di TKP Harus Dilakukan Secara Efektif dan Efisien
Mengacu pada prinsip manajemen penyidikan sebagaimana diamanatkan oleh Perkap 14/2012, maka penyidikan hendaknya dilakukan secara profesional, efektif dan efisien.
Karenanya penerapan dan pelaksanaan rekonstruksi pidana sebagai salah satu teknik pemeriksaan suatu perkara pidana yang harus dilakukan secara profesional, efektif, dan efisien menjadi tantangan tersendiri bagi Kepolisian.
Mengacu pada analisis di atas, maka pelaksanaan rekonstruksi di TKP, dilihat dari aspek posibilitas negatifnya, antara lain dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat berikut:
1. Kerusuhan di area rekonstruksi dengan kemungkinan terburuk adalah tersangka meninggal dunia
2. Dilematis profesionalisme Polri, karena tidak menjadi keharusan (tersangka tidak diberikan beban pembuktian)
3. Proses penyidikan dapat terhambat
4. Pelaksanaan rekonstruksi di TKP membutuhkan biaya yang besar, hal ini dapat berpengaruh terhadap anggaran penyidikan dan kepolisian secara keseluruhan
5. Trauma berulang dari sisi korban.
Dalam hal ini, pelaksanaan rekonstruksi di TKP memerlukan biaya pengamanan, pengawalan, transportasi,dan mobilisasi yang cukup besar.
Bahkan dalam praktiknya bisa melebihi anggaran operasional penanganan satu kasus yang telah dianggarkan sebelumnya.
Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan dan manfaatnya, rekonstruksi sendiri tidak selalu diperlukan dalam mencari kebenaran materiil. Produk akhir dari kegiatan rekonstruksi hanya berupa visualisasi BAP yang telah ada sebelumnya.
(faz/nwy)