Ramadan dan Pentingnya Kesalehan Digital

ADVERTISEMENT

Kolom Ramadan

Ramadan dan Pentingnya Kesalehan Digital

Munawir Aziz - detikEdu
Minggu, 17 Apr 2022 05:54 WIB
Munawir Aziz, sekretaris PCNU / periset
Munawir Aziz (Foto: Luthfy Syahban)
Jakarta -

Ramadan menjadi ruang bagi kita untuk menebar kesalehan. Ramadan datang kepada kita semua, mengetuk pintu hati umat manusia. Bulan ini bukan sekedar momentum suci untuk beribadah semata, namun juga untuk merayakan esensi kemanusiaan kita. Bahwa, Ramadhan bukan hanya milik muslim saja, tapi harus menjadi ruang teduh bagi warga semua agama.

Sebagai mayoritas, muslim Indonesia haruslah memaknai Ramadan kali ini untuk menengok kembali esensi terdalam agama Islam. Bahwa, Islam sejatinya menjadi agama Rahmatan lil-alamin, Islam menjadi media untuk menebar rahmat dan kedamaian ke seluruh alam. Tidak hanya untuk manusia semata, tapi untuk semua makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini.

Maka, menjadikan Ramadan sebagai ruang sejuk bagi semua manusia, itu memang sudah seharusnya. Ramadan jangan sampai dibajak sebagai panggung untuk melakukan sweeping atas nama agama, meneror umat beragama lain, mengenyahkan yang berbeda dan menjadi ajang lomba pengeras suara di penjuru kawasan. Ramadan yang seharusnya tenang dan damai, jangan sampai dipenuhi nafsu kebencian dan perasaan sewenang-wenang, hanya karena muslim Indonesia menjadi mayoritas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka, Surat Edaran Menteri Agama RI (SE No 5 tahun 2022), yang mengatur penggunan pengeras suara di masjid dan tempat agama, akan menemukan momentumnya di Ramadan kali ini. Warga non-muslim yang kebetulan bermukim di dekat masjid, tidak lagi terteror oleh pengeras suara sepanjang malam Ramadhan. Ibadah-ibadah dan pengajian menjadi lebih sublim. Kedamaian dan tenggang rasa diharapkan tumbuh secara organik, yang menyatukan muslim non-muslim dalam kerangka sesama warga negara Indonesia.

Kesalehan digital

ADVERTISEMENT

Di ruang interaksi sosial, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk saling menebar kasih sayang. Kita bisa melihat sisi positif agenda-agenda bagi takjil, ajakan berbuka puasa, serta kampanye sedekah untuk yang membutuhkan yang biasanya tumbuh secara massif di bulan Ramadhan. Bahkan, tidak hanya untuk warga muslim saja, Ramadan juga menyatukan muslim dan non-muslim di negeri dalam proses saling membantu, saling memberi bantuan, atau bersama-sama menolong fakir miskin.

Meski demikian, ungkapan kebencian dan teror juga masih sering terjadi di media sosial. Bahkan, percakapan di platform-platform media berbasis teknologi, belum sepenuhnya bersih dari narasi kebencian. Ini merupakan tantangan bersama, bagaimana menghadirkan kesalehan digital.

Laporan We Are Social, pengguna internet di Indonesia sejumlah 204,7 juta per Januari 2022. Angka ini bertumbuh dibandingkan dengan Januari 2021 lalu, yakni 202,6 juta. Namun, jika dibandingkan pada tahun 2018, jumlah internet di Indonesia telah melonjak sebesar 54,25 persen. Jumlah pengguna internet ini berbanding lurus dengan penetrasi internet di Indonesia, 73,7 persen dari total penduduk pada 2022. Sementara pada 2018 lalu, penetrasi internet di Indonesia baru sejumlah 50%.

Kita tentu ingat betapa netizen Indonesia dianggap sebagai pengguna media sosial yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Berdasar laporan Digital Civility Index (DCI), yang mensurvey 16.000 responden dari 32 negara di dunia. Dari laporan ini, Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvey untuk tingkat kesopanan, dengan rangking paling rendah di Asia Tenggara.

Dari data DCI, skor ketidaksopanan daring netizen Indonesia sebesar 76 poin, naik 9 poin dari data 2019. Terdapat resiko utama yang dihadapi netizen kita, yakni hoax dan scam (+13), ujaran kebencian (+5) dan diskriminasi (+2). Dari data ini, ada kecenderungan peningkatan ketidaksopanan digital warga Indonesia, karena pengaruah hoax, kejahatan cyber, narasi kebencian sekaligus diskriminasi berbasis etnis dan agama yang sering terlontar di media sosial.

Perlu ada dorongan yang kuat dan aksi bersama, untuk menjadikan media sosial sebagai ruang berinteraksi yang nyaman, berbagi pengetahuan, dan aksi-aksi pemberdayaan masyarakat. Kita bisa menggeser nilai-nilai gotong-royong sebagai budaya khas masyarakat kita ke internet. Platform digital yang mengelola iuran, zakat, dan sedekah tumbuh drastic menandakan bahwa energi bangsa untuk menguatkan crowd-funding sebenarnya sangat besar.

Dalam konteks ini, Ramadan seharusnya tidak hanya kita maknai sebagai momentum memperkuat kesalehan sosial dan ritual, tapi juga kesalehan digital. Kesalehan sosial diperlukan untuk menghadirkan cinta dalam interaksi antar manusia, dalam keseharian kita. Pada sisi lain, kesalehan ritual menjadi jembatan hamba menuju Tuhannya, mengkoneksikan makhluk dengan Sang Khalik. Ramadhan menjadi jalan tol untuk mencapai perjalanan terjauh dalam ritual ibadah seorang muslim.

Akan tetapi, kesalehan digital juga perlu kita hadirkan sebagaimana kita mengejar kesalehan sosial dan ritual. Kesalehan digital memungkinkan kita menggunakan media sosial sebagai ruang berinteraksi dan berekspresi secara wajar. Media sosial bukan digunakan untuk mengekspresikan energi kebencian, tapi sebagai ruang silaturahmi.

Platform digital yang dimiliki, dapat dimaksimalkan sebagai ruang belajar dan mengakses pengetahuan. Jika kita menghadirkan kesalehan digital dalam diri, maka apa yang dilihat dan didengar di media sosial senantiasa sebagai pengetahuan. Konten-konten yang dihasilkan sesuai dengan kesadaran penuh untuk menebar kemanfaatan. Inilah kesalehan digital yang perlu kita tumbuhkan di Ramadhan kali ini.

Sekarang ini, tumbuh massif konten-konten pengajian kitab dan ceramah agama yang bernuansa moderat, yang dikelola komunitas-komunitas santri Nahdlatul Ulama, pemuda Muhammadiyah dan akademisi berbasis kampus. Perkembangan ini menandakan ada arus baru transformasi sumber pengetahuan yang berkembang massif di ruang digital Indonesia.

Ibarat pisau, teknologi merupakan alat, yang bisa digunakan untuk kegiatan bermanfaat atau sebaliknya. Faktor utamanya terletak pada penggunanya, the man behid the gun. Meski, kita juga harus sadar bahwa teknologi mempunyai keterbatasan, bahwa media sosial pada konteks tertentu harus kita sadari kelemahannya.

Ramadhan bisa menjadi oase yang mengembalikan lagi momentum ini sebagai ruang belajar, sumber pengetahuan dan kebersamaan untuk menghadirkan cinta kasih. Menumbuhkan kesalahen digital di Ramadhan kali ini, merupakan jihad kita bersama. Energi kebaikan jangan sampai kalah dengan narasi kebencian (*).

Munawir Aziz

Penulis adalah Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads