Kehalalan bahan pada obat kerap jadi perdebatan di tengah masyarakat. Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Ketua Umum Pusat Studi Halal Salman ITB Prof. Dr. apt Slamet Ibrahim Surantaatmadja, DEA menjelaskan gambaran strategi penjaminan halal untuk produk farmasi seperti obat.
Slamet mengatakan, obat atau produk farmasi termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal sesuai Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal.
"Untuk mendapat sertifikat halal, maka produk harus halal dan wajib dirancang dan diproduksi dengan menggunakan bahan-bahan dan produksi yang sesuai dengan syariat Islam," kata Slamet dalam webinar "One Big Event: Kesiapan Indonesia sebagai Pusat Industri Halal Dunia, Khususnya Bidang Farmasi" oleh Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Farmasi (HMPF) ITB Bisfosfonat, dilansir dari laman resmi kampus, Senin (14/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengakui, terdapat tantangan untuk mengetahui status kehalalan, mengingat kemungkinan kehalalannya belum dipersyaratkan di negara produsen. Lalu, seperti apa strategi penjaminan halal pada obat?
Jaminan Halal pada Obat
1. Hukum Asal Bahan
Slamet mengatakan, konsep halal dalam syariat Islam terbagi atas aspek materi dan aspek amal perbuatan (muammalah) mukallaf. Ia merinci, aspek materi mencakup benda, bahan, dan produk. Slamet menambahkan, bahan juga terbagi dalam berbagai jenis lagi.
"Bahan baku pada bidang farmasi adalah bahan aktif farmasi yang bisa berupa reaksi kimia dan menjadi pemberi efek pada konsumen. Selain itu, pada bidang farmasi juga terdapat bahan tambahan yaitu eksipien farmasetik. Enzim dan katalis juga berperan sebagai bahan penolong," terang Prof. Slamet.
Eksipien adalah bahan yang tidak aktif yang dibuat bersamaan dengan bahan aktif dari suatu obat-obatan yang bertujuan untuk meningkatkan volume (bulking up) bahan aktif tersebut.
Slamet mengatakan, hukum asal bahan juga diterangkan dalam Al Qur'an.
"Berdasarkan Al Qur'an surat Al-Baqarah: 29 dan Al-Jasiyah: 13, pada dasarnya segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk digunakan manusia sebagai khalifah di bumi. Ushulul fiqih menyatakan bahwa hukum asal dari semua bahan adalah boleh sepanjang belum ada dalil yang mengharamkannya dan hukum asal dari bahan yang bermanfaat adalah boleh, serta hukum asal dari bahan yang berbahaya adalah haram," jelasnya.
2. Standardisasi Halal
Penjaminan halal pada produk terutama produk farmasi, sambung Slamet, membutuhkan standardisasi. Ia mengatakan, standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan merevisi standar yang dilakukan secara tertib melalui konsensus atau kerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan.
Slamet menjelaskan, standar halal terdiri dari persyaratan halal, pedoman produksi halal, kriteria halal, dan metode pengujian halal. Persyaratan halal dapat diturunkan dari persyaratan syarat Islam, fatwa ulama, serta peraturan perundang-undangan Jaminan Produk Halal serta yang terkait.
Sementara itu, kriteria halal merupakan patokan kualitatif berisi ketentuan halal yang harus dipertimbangkan untuk mengambil keputusan sesuai standar halal. Slamet menjelaskan, kriteria produk halal harus memenuhi berbagai tahap seperti proses dan fasilitas produksi halal, kepastian semua bahan yang digunakan halal, sistem penyimpanan dan distribusi yang halal, serta tidak terjadi kontaminasi dengan barang haram.
3. Aspek Legal pada Obat
Khusus produk farmasi, Slamet menjelaskan, ada aspek legal obat yang harus dipenuhi. Pertama, sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat, dan bermutu sesuai pasal 98 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 .
Ia menambahkan, sediaan farmasi berupa obat dan bahan baku obat juga harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya sesuai pasal 105 Undang Undang No. 36 Tahun 2009. Di samping itu, obat tradisional juga harus memenuhi Farmakope Herbal Indonesia.
Slamet menekankan, alat farmasi dan juga berbagai produk farmasi juga harus memiliki izin edar serta wajib bersertifikat Halal.
4. Konsep Halal by Design
Konsep Halal by Design menurut Slamet kemudian hadir untuk menyukseskan strategi penjaminan halal pada produk farmasi seperti obat. Ia menjelaskan, konsep Halal by Design pertama kali diciptakan dengan mengadopsi konsep Quality by Design yang diperkenalkan Dr. Joseph M. Juran, lalu dikombinasikan dengan manajemen risiko mutu.
"Halal by Design adalah suatu pendekatan sistematik dan ilmiah dalam merancang pengembangan suatu produk halal. Diawali dengan perencanaan, pemilihan, bahan, proses produksi, hingga penjaminan produk halal yang berbasis manajemen halal sesuai syariat Islam," jelas Slamet.
Slamet merinci, tahapan implementasi Halal by Design dimulai dari target produk halal, sistem jaminan produk halal, pengembangan dan analisis titik kritis, penetapan bahan halal, pemilihan fasilitas produksi dan distribusi, penerapan strategi, hingga mendapatkan sertifikat halal.
"Keberhasilan penerapan konsep ini sangat bergantung pada tekad, niat, dan upaya yang kuat untuk menerapkan strategi produksi produk yang halal dan baik," tegas Prof. Slamet.
(twu/lus)