Cancel culture merupakan suatu fenomena yang terjadi di media sosial. Fenomena cancel culture biasanya muncul setelah ada perilaku dari seseorang yang dianggap melawan norma.
Cancel culture sendiri didefinisikan sebagai bentuk ketidaksukaan yang diutarakan oleh publik demi menghilangkan perilaku orang yang dianggap melawan norma. Namun saat ini, menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Nisa Kurnia Illahiati, cancel culture juga menjadi bentuk pelampiasan warganet dalam media sosial.
"Warganet memiliki kecenderungan untuk terburu-buru mengakses kekuasaan untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak, tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya seperti apa. Saya lihat makin kesini menjadi salah satu behavioral pattern dari warganet Indonesia," kata Nisa yang dikutip dari laman Unair, Sabtu (19/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab Cancel Culture
Nisa menjelaskan penyebab cancel culture dari segi komunikasi adalah minimnya literasi dan adanya keinginan main hakim sendiri oleh netizen.
"Lack of literacy, akhirnya menyebabkan seseorang menutup diri dari realitas yang sebenarnya bisa dicari, dan langsung menghakimi seseorang," kata Nisa.
Selain itu adanya standar ganda pada diri sendiri juga mempengaruhi cancel culture. "Perilaku yang ditunjukkan figur publik, bila dilakukan oleh warganet akan menimbulkan perlakuan yang berbeda. Misalnya dia tidak boleh dan saya boleh," ujar Nisa.
Dua Sisi Mata Koin
Media sosial memiliki dua sisi mata koin, maksudnya apa yang terlihat di layar berbeda dengan hal di belakang layar. Contohnya, media sosial sering digunakan sebagai media escapism yang digunakan sebagai pelarian dari dunia nyata jika tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Hal itu menyebabkan munculnya komentar kebencian (hate speech) di media sosial.
"Meski dapat dipahami, namun hate comment merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Karena saat kita melakukan cancel pada seseorang, ada perspektif dimana kita tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi pada orang tersebut," jelas Nisa.
Melihat banyaknya dampak negatif, Nisa mengharapkan agar warganet tetap bijak bermedia sosial. "Sebelum kita melakukan cancel pada seseorang, kita harus mengonfirmasi dan memberikan hak jawab pada orang tersebut. Sebagai warganet, kita mungkin tidak memiliki hak untuk melakukan cancel culture, karena tidak benar-benar tahu apa yang terjadi," ujar Nisa.
(atj/rah)